Kamis, 10 Februari 2011

Kutitip Surat ini Untukmu.. part I

Surat Ibu kepada Putranya

"Orang tua pintu surga yang di tengah, sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!" 
(HR. Ahmad)

Kutitip surat ini anakku!

Nanda yang kusayangi, di bumi Allah ta'ala...

Segala puji ibu panjatkan kehadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Aamiin...

Wahai Anakku,

Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara...  Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulisdan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air matasetiap itu pula hati terluka...

Wahai anakku!

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku... 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku dan semua Ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu wahai anakku! Pada kondisi lemah diatas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu sangat gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu atau balikan badanmu dalam perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar kedunia

Engkau pun lahir... Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku raih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.

Wahai anakku... Telah berlalu tahun dan usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan padamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu... Itulah kebahagiaanku!.

Kemudian, berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selamua itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhanti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis, telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan kanan demi mencari pasangan hidupmu.

semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pula hatiku serasa teriris-iri, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah tercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapat pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.

Waktupun berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dalam kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang keguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi, penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.

Akan tetapi semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputus asaan, yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku... Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula hari-hari bahagia masa kecilmu.

Yang ibu tagih padamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempt persinggahanmu, agar engkau dapat pula sekali-kali singgah kesana sekalipun hanya satu detik, jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit... Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya di bopong, sekalipun begitu cintaku padamu masih seperti dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering, Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.

Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannnya dengan keaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu... Mana balas budimu nak? Mana balasan baikmu?! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak?! Susu yang ibu berikan engkau balas dengan tuba?! Bukankah Allah ta'ala berfiman:
(هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ(٦٠
Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula? (QS. Ar-Rahman:60)


Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu? Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertyambah kebahagiaanku Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil keletihanku, Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah ku perbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu? pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?

Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian pembantu dan budakmu? Mereka telah mendapatkan upahnya, lalu mana upah yang layak untukku wahai anakku!

Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku dibawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta'ala mencintai orang yang berbuat baik.

Wahai anakku! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan  yang lain.

Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki yang supel, dermawan, dan berbudi Anakku... tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan rindu, berselimutkan kesdihan, dan berpakaian kedukaan?

Bukan karena apa-apa. Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengeluarkan air matanya... Hanya karena engaku telah membalasnya dengan luka di hatinya... hanya karena engkau pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya.. hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?

Wahai anakku, Ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu disana dengan kasih sayang Allah ta'ala.

Anakku, aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau beranjak dewasa saat itu pula sifat tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.

Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadist yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yanitu bahwa nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: 'aku bertanya kepada rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, "wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia?" beliau berkata: "Shalat pada waktunya", aku berkata: "kemudian apa, wahai rasulullah?" Beliau berkata "berbakti kepada orang tua", aku berkata: "kemudian wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "jihad di jalan Allah" lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.'
(HR. Bukhari, Musliman Ahmad)

Wahai anakku, ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak untuk berletih dalam berinfak.

Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mecari tambang emas?! setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya dirumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, disebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.


Begitulah perumpamaan dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau lupa bahwa didekatmu ada pahala yang maha besar. Disampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu, Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah, dan murkaku adalah kemurkaanNya?


Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi Shalallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:


"merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang, dikatakan (kepada Rasulullah): 'siapa dia wahai Rasulullah?' beliau menjawab "orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga"
(HR. Muslim)

Anakku... Aku tidak angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkankan engkau adalah jantung hatiku... Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku kebahagiaan hidupku.

Bangunlah nak, uban sudah merambat dikepalamu, akan berlalu masa sehingga engkau akan menjadi tua, dan al-jaza' min jinsil 'amal...  Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam... Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata pula kepadamu.

Wahai anakku, Bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.

Anakku... Setelah engkau membaca surat ini, terserah kepadamu, apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,

Ibumu.

Hallo Semua...

Kenalin.. Sang Jilbaber yang bernama wina ini, sekarang udah duduk di bangku kelas SMA lho!! Tepatnya sih, di kelas NASA SATELIT, SMADABAYA. Makasih juga.. udah jadi visitornya^^