Rabu, 30 November 2011

Tidurlah Sayang




~penulis: Ade Anita ~




“Aku tidak mau tidur sendirian Bu.” Sebutir air mata meluncur dari kelopak mata yang memiliki bola mata indah itu. Cepat tangan kecil gadis di depanku itu menghapusnya. Wajahnya kusut dan memelas. Hmm… aku menghela napas panjang. Wajah bidadari ini selalu membuatku trenyuh dan tak kuasa untuk bilang tidak. Tapi kali ini kata ‘tidak” tidak boleh keluar dari mulutku.


“Begini saja, ibu temani sebentar yah.” sebuah senyuman terlukis di wajah permata hatiku itu.


“Kita tidur bertiga dengan Teddy bear yah?” Suaranya yang cadel dan kenes itu terdengar lirih.


“Teddy bear? Boleh. Berempat dengan sang bintang juga boleh.” Lalu kami masuk ke dalam kamarnya.


Kami tidur dengan kepala menghadap jendela kamar yang berdaun jendela lebar. Sengaja tidak dipasang gordein di sana agar pemandangan langit bisa terlihat jelas dari tempat kami berbaring. Langit tampak cerah malam itu. Bintang-bintang bertaburan memenuhi angkasa raya dan bulan tampak bersinar penuh dengan cahaya yang memantul berpendar-pendar. Aisyah, yang menjadi permata hatiku, mendekatkan kepalanya ke sisi pundakku, dan tangan mungilnya menyusup melingkari lenganku. Boneka Teddy bearnya menyembul di antara tubuh kami yang berhimpitan.


“Hmm… bagus yah, bintang-bintang itu.” Aku bertanya padanya dengan segala kekagumanku yang utuh pada keindahan jagad raya di atas sana. Subhanallah… Maha Suci Allah.


“Iyah bagus.” Suara kecil Aisyah mulai melemah karena diserang kantuk terdengar begitu lirih.


“Besok-besok… kamu tidak usah takut tidur sendirian yah. Ini hari terakhir ibu menemani kamu.” Tidak ada jawabannya, tapi aku rasakan rengkuhan tangan kecil di lenganku mengeras, sebuah isyarat tak hendak berpisah. Seperti malam-malam sebelumnya, rupanya malam inipun Aisyah tidak ingin tidur seorang diri.


“Kamu lihat bintang yang paling terang itu.” Tanganku menunjuk ke angkasa raya, pada satu titik di sebelah utara, dimana ada sebuah bintang yang terlihat paling terang cahayanya dan paling besar pula keberadaannya dibanding bintang yang lain.


‘Itu namanya bintang kejora.” Kemudian kami bersama mengagumi bintang kejora. Sederetan awan kelam yang berbaris mendekati bintang kejora, rupanya malu hati akan niatnya untuk menutupi bintang tersebut sehingga dengan cepat awan itu menyingkir dan kembali bintang kejora berpendar-pendar indah.


“Bagus bu… adik suka bintang kejora.” Suara lirih Aisyah kembali terdengar.


“Besok, kalau kamu tidur sendirian, kamu lihat saja ke langit. Insya Allah bintang kejora akan selalu muncul jika langit cerah. Kamu bayangkan bahwa ibu ada di sampingmu, sedang menatap bintang kejora bersama seperti malam ini. Jadi kamu tidak takut lagi tidur sendirian.” Sebuah senyuman terukir di mulut mungil Aisyah dan sebuah kecupan mendarat di pipiku yang dihadiahkan Aisyah padaku. Lama kami terdiam hingga yang terdengar kemudian adalah bunyi napas yang teratur. Hingga…,.


“Bagaimana jika bintang itu tidak muncul Bu ? “


“Hah ?…ngggnn.” Aku tidak langsung menjawab dan jeda waktu menunggu itu membuat sebuah kegelisahan tiba-tiba muncul di wajah Aisyah.


‘Bagaimana jika langit mendung dan badai datang ?” Suaranya yang semula lirih kini dipenuhi rasa kekhawatiran.


Kurengkuh tubuh mungilnya erat-erat… dan dengan lembut kubisikkan kata di telinganya, “Ada Allah yang selalu setia menemani kamu sayang…. Allah tidak akan pergi meninggalkan kamu, apapun keadaan yang datang dan selalu berubah-ubah. Bintang kejora itu adalah kasih ibu yang akan ibu berikan untuk kamu, tapi ibu dan bintang kejora, bahkan juga kamu, ayah, kakak, adalah ciptaan Allah, yang bisa menghilang, pergi jika Allah menghendakinya…. Tapi Allah yang Maha Pencipta selalu hadir menemani kamu. “


“Ibu akan pergi kemana ?”


“Suatu hari nanti, mungkin ibu akan pergi menghadap Allah. Kalau itu terjadi, kamu tidak bisa bertemu ibu lagi, kalau kamu kangen, kamu lihat saja ke langit yang cerah, bintang kejora itu adalah kasih sayang ibu yang sudah ibu ukir di sana agar kamu selalu ingat ibu. Jangan pernah merasa putus asa jika kamu merasa seorang diri… karena bintang kejora itu selalu bersinar berpendar-pendar meskipun awan gelap selalu berusaha menutupi kehadirannya. Kamu bisa lihat bintang itu dimanapun kamu berada di muka bumi ini. Dan ingat…. Meski bintang itu hilang karena siang muncul menggantikan malam, ada yang selalu setia menemani kamu dan menyayangi kamu melebihi kasih sayang ibu ke kamu, bahkan melebihi kasih sayang seluruh makhluk di muka bumi ini. Itu adalah kasih sayang Allah Subhanallahu Wa ta’ala… nah sekarang tidurlah… Pejamkan matamu.”


Tak ada jawaban, sebaliknya muncul sebuah pertanyaan baru.


“Apakah aku akan bertemu ibu lagi di hari esok ?” Bola mata bening bagaikan mutiara itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Sebutir mutiara bening meluncur dari sana, dan genggaman jemari kecil di lengan tanganku kian erat. “Hanya Allah yang tahu sayang. Jika Allah mengizinkan, tentu kita akan bertemu dan bermain kembali… sekarang, tidurlah.”


Mata Aisyah menatapku dengan polos dan sebuah telaga bening di kelopak matanya terlihat bergetar tak kuasa menahan bendungan air yang terkumpul di sana. Kukecup keningnya dengan penuh rasa kasih dan sayang.


“Ibu sayang sama kamu, jika takdir datang dan memisahkan kita, rasa sayang dan doa ibu akan selalu tercurah untukmu nak… Bersyukurlah selalu pada Allah, karena apapun takdir yang diberikan oleh Allah, dalam perhitunganNya, itulah yang terbaik bagimu. Tidurlah… Ada Allah yang akan menjagaMu malam ini.

Bunga-Bunga Surga


~Penulis: Aura Sinay ~


Ah. Kau langsung tersenyum saat melihat bungaku. Aku sudah menduganya. Sungguh, aku tak berniat untuk menyombongkan diri, tapi mereka yang melihat selalu mengatakan bahwa bungaku indah. Ah. Aku malu. Hanya kepada Allahlah pujian itu patut disampaikan. Aku hanyalah makhluk ciptaan-Nya. Tentulah Allah Maha Indah.

Awalnya, aku hanyalah sebutir benih yang diterbangkan oleh angin ke sana ke mari. Hingga akhirnya angin menghempaskanku dengan lembut pada sebuah taman di bumi yang tidak begitu indah, namun sangat layak untuk kutumbuh. Tanahnya hangat memelukku hingga membenamkanku ke dalam bumi-Nya. Tanah itu biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa, kecuali kegigihan dan ketulusannya dalam memberiku mineral-mineral, entah sampai kapan. Aku sendiri tak tahu harus membalasnya dengan apa. Hanya Allah yang mampu membalasnya dengan sebaik-baik karunia. Yang dapat kulakukan hanyalah mengerahkan segenap kekuatanku untuk memekarkan bunga-bunga yang indah. Walaupun kemudian pujian itu mereka tujukan padaku, bukan kepada tanah yang kupijak.

Kian hari kurasakan tanah itu semakin hangat memelukku, hingga akarku kuat mencengkeram bumi dan menopang ranting yang sebenarnya rapuh bagi mekarnya bungaku. Ah, segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat di bumi ini.

Taman tempatku tumbuh tidak berpagar besi yang kokoh lagi megah, tapi hanya sebarisan pagar kayu yang cukup kuat untuk memastikan setiap orang yang melihat bahwa di sini ada taman bunga yang tersendiri.

Kuakui, aku sering merasa tak puas dengan taman yang kutempati ini. Ingin rasanya berpindah taman. Di luar terlihat indah sekali. Tapi rasanya tak mungkin aku meninggalkan taman ini tanpa bungaku. Justru menjadi kewajibanku untuk memekarkan bunga-bunga khas taman ini dengan tulus.

Ya, di luar sana memang terlihat sangat indah. Bunga-bunga yang bermekaran di luar sana sering mengejutkan setiap makhluk yang melihatnya. Mereka tak pernah menyangka ada bunga-bunga yang sangat indah di sudut-sudut bumi yang tersembunyi itu. Bunga-bunga itu memekarkan bentuk, warna, dan wanginya masing-masing, mengingatkan kita untuk segera memuji kebesaran-Nya.

Pernahkah kau mendengar kisah tentang bunga-bunga di luar sana ? Aku pernah mendengarnya, dari angin yang senantiasa menghembuskan kisah-kisah bumi.

Di luar sana ada pohon bunga yang rapuh. Dahannya rapuh, tapi akarnya kuat mencengkeram tanahnya. Setiap saat akarnya gigih mencari mineral-mineral tambahan bagi pertumbuhannya, walau akhirnya sering terbentur dinding potnya.

Pot? Ya, ia tinggal dalam sebuah pot bunga yang besar dan indah. Pot bunga itu terbuat dari baja kuat yang dingin (beruntunglah ia karena masih ada tanah yang hangat memeluknya). Pot itu berlapiskan emas dengan ukiran-ukiran yang indah.

Awalnya aku tak mengerti mengapa mereka (manusia-manusia itu) memperlakukan pohon bunga itu dengan sangat istimewa. Namun kemudian angin yang menceritakan kisah ini memberitahuku bahwa ia adalah pohon bunga yang langka.

Hanya ia yang tersisa di muka bumi ini. Tidak. Bukan tersisa. Justru ialah satu-satunya di muka bumi ini. Tak ada lagi pohon bunga yang sejenis dengannya. Karena ia adalah pohon bunga cangkokan. Pintar sekali manusia-manusia itu memadukan dua pohon induknya (Mahasuci Allah, pemilik segala ilmu). Namun sepertinya perhitungan mereka agak meleset. Dahan pohon yang dihasilkan sangat kecil dan tipis. Ia pun mudah terserang hama sehingga mereka harus memberikan perlakuan ekstra untuk pohon itu. Mereka berikan berbagai macam pupuk khusus dan menyiraminya secara teratur agar ia dapat tumbuh dengan normal.

Hasilnya pun sangat mengejutkan. Mereka sendiri tak menduga, bunga yang dimekarkannya begitu indah. Ia menebarkan wanginya yang khas. Madunya menjadi makanan bagi kumbang-kumbang yang mau mendatanginya. Rantingnya yang panjang dan kecil menari-nari mengikuti irama yang dilagukan oleh sang angin. Harapannya hanya satu, angin akan membawa serta benih-benihnya, mencarikan tempat-tempat yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman sejenisnya kelak.

Ia tak pernah meminta angin untuk menghembuskan kisahnya. Jangankan memikirkan hal seperti itu, menyadari keindahan bunganya sendiri pun tidak. Tapi angin telah membawa serta berita keindahan bunganya ke setiap penjuru bumi. Dan setiap pohon bunga yang mendengarnya akan menari-nari, melagukan kesyukuran seolah tiada henti. Termasuk aku.

Ah. Aku jadi malu. Dahanku yang cukup kuat justru kalah dengannya. Dahannya tak pernah berhenti mencari sinar sang mentari yang dapat merangsang pertumbuhannya dengan memberikan banyak kehangatan. Sementara aku ? Ah, entahlah. Aku masih harus banyak belajar darinya. Kini ia tumbuh meninggi. Semakin dekat dengan sang mentari. Hingga pohon-pohon lain di luar pagarnya dapat membuktikan keindahannya. Aku sering terkikik geli saat sang angin menceritakan bahwa terkadang pohon-pohon itu mencuri pandang, terpesona pada keindahan alami bunganya. Lalu mereka kembali melantunkan lagu kesyukuran, hingga serinya menebar ke seluruh penjuru taman hati.

Ah. Allah pastilah menyayanginya. Dan sang angin tak berhenti menghembuskan kisah-kisah bunga dari muka bumi ini. Suatu hari ia pernah bercerita, di luar sana ada pohon bunga yang masih sangat muda, tapi dahannya sudah kuat, dan akarnya kokoh mencengkeram bumi. Bunga yang dimekarkannya pun tak kalah indah dengan bunga-bunga lainnya. Ia memiliki kekhasan tersendiri. Di saat pohon-pohon lain menari-narikan bunga-bunganya yang indah dengan gemulai kepada seluruh penghuni bumi, ia justru enggan melakukannya. Yang ia lakukan hanyalah melagukan kesyukuran tanpa henti. Bahkan ia menumbuhkan banyak duri yang tajam di dahannya yang kokoh. Ia hanya tak ingin bunganya dipetik oleh sembarang orang. Ia juga tak ingin ada hama yang mengganggu atau bahkan merusak bunganya. Semua itu ia lakukan karena ia tahu betul, bunga yang dimekarkannya tak pernah bertahan lama. Tak lama setelah mekar, kelopaknya akan gugur ke bumi, seperti mawar. Ini sudah menjadi kodratnya. Namun ia tak sedikit pun mengeluh.

Sebuah pemikiran yang cerdas. Ah, tak pernah terpikirkan olehku. Padahal aku tumbuh lebih dulu dan bungaku lebih rapuh darinya. Lalu angin mengenalkannya padaku. Ia pohon bunga yang menyenangkan. Aku cepat akrab dengannya, walaupun letak taman kami saling berjauhan. Kami berkirim salam lewat angin. Berbagi rasa pun kami lakukan lewat angin. Maha Besar Allah yang telah menciptakan angin. Ia pernah menyampaikan kegundahannya lewat hembusan angin yang lembut. Seekor lebah memintanya menyisakan madu bagi dirinya pada suatu hari di waktu yang telah mereka sepakati. Ia menyanggupinya. Di luar dugaan, pada hari yang telah disepakati itu, bunganya tak mekar tepat pada saatnya. Dan ia tak kunjung melihat lebah itu datang di antara lainnya. Ia panik. Ia takut lebah itu akan marah kepadanya.

Aku tak melupakan janjiku. Aku tak ingin mengingkarinya. Aku tak menyangka jika embun pagi ini lebih sedikit dari kemarin sehingga aku harus bersabar dalam memekarkan bungaku agar aku tak kehilangan banyak energi. Aku tak bermaksud membuatnya kelaparan, kan.? Begitu sedih angin menceritakannya padaku.

Aku tahu. Rasanya lebah itu tak akan kelaparan. Bunga-bunga lain masih menyisakan madu untuknya. Ia tak akan menjadi begitu lapar karenanya. Angin hembuskan prasangka-prasangka baik padanya. Dihempaskannya jauh-jauh prasangka-prasangka buruk si bunga pada si lebah. Tak kuduga, ia menolak hembusan itu. Ia yakin sekali lebah itu akan marah lagi kepadanya. Ternyata hal ini terjadi untuk kedua kalinya. Sebelumnya ia pernah menjanjikan hal yang sama pada lebah yang sama. Ketika saat yang dijanjikannya tiba, bunganya tak siap untuk mekar. Sementara bunga-bunga lain yang mekar lebih awal pada dahannya telah habis madunya, dihisap lebah-lebah lain yang datang lebih pagi. Ia sendiri tak menduga jika lebah-lebah yang datang hari itu lebih banyak dari sebelumnya.

Lalu lebah itu marah padanya. Untuk beberapa lama ia tak menghampiri bunga itu lagi. Bahkan lambaian kelopaknya pun tak ia balas. Sedemikian marahnyakah lebah itu padanya? Kusampaikan lewat angin yang lembut menerpa, jika ia memang seekor lebah sejati, tentulah ia akan bersabar. Ia tak akan berhenti begitu saja. Lebah itu akan mencari madu pada pohon bunga yang lain. Lebah itu makhluk yang gigih.

Ia tetap gelisah. Kehilangan akal, kugoda bunga itu. Kutanyakan lewat angin tentang seberapa istimewanya lebah itu baginya hingga ia begitu gelisah. Tak kusangka, angin yang kembali membawakan pesannya datang menghentak.

Ia tak pernah menganggap istimewa pada lebah itu. Ia hanya tak ingin menyakitinya. Ia berusaha untuk membahagiakan semua lebah yang datang kepadanya.

Ah, memang salahku. Saat itu memang bukan waktu yang tepat untuk menggodanya. Akhirnya si lebah itu datang juga. Kuminta padanya untuk tak marah pada si bunga. Lebah itu mengangguk sambil tersenyum dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan lincah. Ah, lega rasanya.

Ukiran Dalam Samudera Harapku



Ya Allah......
Saat aku menyukai seorang teman,...
Ingatkanlah aku bahwa akan ada sebuah akhir,...
Sehingga aku tetap bersama yang Tak Pernah Berakhir.

Ya Rabb-ku...
Ketika aku merindukan seorang kekasih,...
Rindukanlah aku kepada yang rindu Cinta Sejati-Mu
Agar kerinduanku terhadap-Mu semakin menjadi.

Ya Allah ...Yang Maha Pengasih...
Jika aku hendak mencintai seseorang,...
Temukan aku dengan orang yang mencintai-Mu,...
Agar bertambah kuat cintaku pada-Mu

Ya Allah...Yang Maha Pemurah...
Ketika aku sedang jatuh cinta,...
Jagalah cinta itu,...
Agar tidak melebihi cintaku pada-Mu.

Ya Allah ...Yang Maha Penyayang...
Ketika aku berucap " aku cinta padamu ",...
Biarlah kukatakan kepada yang hatinya tertaut pada-Mu.
Agar aku tak jatuh dalam cinta yang bukan karena-Mu.
Sebagaimana orang bijak berucap...
Mencintai seseorang bukanlah apa-apa,...
Dincintai seseorang adalah sesuatu,...
Dicintai oleh orang yang kau cintai sangatlah berarti,...
Tapi dicintai oleh Sang Pencipta adalah segalanya.

Rabbana hablanaa min azwaajinaa wa zurriyyaatinaa qurrata'ayyuni waj'alna
lilmuttaqqiina imaamaa
Ya Allah...anugerahkanlah kepada kami
Istri2 (Suami) kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)
dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.


Jumat, 18 Maret 2011

Ranah 3 Warna

Setelah membaca negeri 5 menara, akhirnya daku sempat jua tuk membaca kelanjutannya. 
Ingin sekali rasanya bisa menjalani hidup dengan sehebat itu. 
Terasa begitu mudah saat melalu berbagai cobaan yang menimpa.

Terima Kasih Cha-Cha yang sudah berbaik hati meminjamkan novel yang sarat ilmu ini. 
Semoga ini dapat di contoh dan di terapkan dalam kehidupan nyata..

VENI, VIDI, VICI
-Saya datang, Saya Lihat, dan Saya menang-



Salah satu syair Sayyid Ahmad Hasyimi.
Syair ini diajarkan pada tahun ke-4 di pondok modern Gontor, Ponorogo


Kamis, 10 Februari 2011

Kutitip Surat ini Untukmu.. part I

Surat Ibu kepada Putranya

"Orang tua pintu surga yang di tengah, sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!" 
(HR. Ahmad)

Kutitip surat ini anakku!

Nanda yang kusayangi, di bumi Allah ta'ala...

Segala puji ibu panjatkan kehadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Aamiin...

Wahai Anakku,

Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara...  Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulisdan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air matasetiap itu pula hati terluka...

Wahai anakku!

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku... 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku dan semua Ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu wahai anakku! Pada kondisi lemah diatas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu sangat gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu atau balikan badanmu dalam perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar kedunia

Engkau pun lahir... Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku raih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.

Wahai anakku... Telah berlalu tahun dan usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan padamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu... Itulah kebahagiaanku!.

Kemudian, berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selamua itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhanti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis, telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan kanan demi mencari pasangan hidupmu.

semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pula hatiku serasa teriris-iri, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah tercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapat pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.

Waktupun berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dalam kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang keguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi, penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu.

Akan tetapi semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputus asaan, yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku... Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula hari-hari bahagia masa kecilmu.

Yang ibu tagih padamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempt persinggahanmu, agar engkau dapat pula sekali-kali singgah kesana sekalipun hanya satu detik, jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit... Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya di bopong, sekalipun begitu cintaku padamu masih seperti dulu, masih seperti lautan yang tidak pernah kering, Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.

Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannnya dengan keaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu... Mana balas budimu nak? Mana balasan baikmu?! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak?! Susu yang ibu berikan engkau balas dengan tuba?! Bukankah Allah ta'ala berfiman:
(هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ(٦٠
Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula? (QS. Ar-Rahman:60)


Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu? Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertyambah kebahagiaanku Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil keletihanku, Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah ku perbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu? pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?

Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian pembantu dan budakmu? Mereka telah mendapatkan upahnya, lalu mana upah yang layak untukku wahai anakku!

Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku dibawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta'ala mencintai orang yang berbuat baik.

Wahai anakku! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan  yang lain.

Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki yang supel, dermawan, dan berbudi Anakku... tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan rindu, berselimutkan kesdihan, dan berpakaian kedukaan?

Bukan karena apa-apa. Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengeluarkan air matanya... Hanya karena engaku telah membalasnya dengan luka di hatinya... hanya karena engkau pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya.. hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?

Wahai anakku, Ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu disana dengan kasih sayang Allah ta'ala.

Anakku, aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau beranjak dewasa saat itu pula sifat tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.

Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadist yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yanitu bahwa nabi yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam bersabda.

Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: 'aku bertanya kepada rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam, "wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia?" beliau berkata: "Shalat pada waktunya", aku berkata: "kemudian apa, wahai rasulullah?" Beliau berkata "berbakti kepada orang tua", aku berkata: "kemudian wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "jihad di jalan Allah" lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.'
(HR. Bukhari, Musliman Ahmad)

Wahai anakku, ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak untuk berletih dalam berinfak.

Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mecari tambang emas?! setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya dirumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, disebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.


Begitulah perumpamaan dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau lupa bahwa didekatmu ada pahala yang maha besar. Disampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu, Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah, dan murkaku adalah kemurkaanNya?


Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi Shalallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:


"merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang, dikatakan (kepada Rasulullah): 'siapa dia wahai Rasulullah?' beliau menjawab "orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga"
(HR. Muslim)

Anakku... Aku tidak angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkankan engkau adalah jantung hatiku... Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku kebahagiaan hidupku.

Bangunlah nak, uban sudah merambat dikepalamu, akan berlalu masa sehingga engkau akan menjadi tua, dan al-jaza' min jinsil 'amal...  Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam... Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata pula kepadamu.

Wahai anakku, Bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.

Anakku... Setelah engkau membaca surat ini, terserah kepadamu, apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,

Ibumu.

Hallo Semua...

Kenalin.. Sang Jilbaber yang bernama wina ini, sekarang udah duduk di bangku kelas SMA lho!! Tepatnya sih, di kelas NASA SATELIT, SMADABAYA. Makasih juga.. udah jadi visitornya^^