Jumat, 28 Juni 2013

Zaman Ketidak Kepercayaan


Di Zaman Ketidak Percayaan Ini
Jangan Pernah Lagi Bikin Janji-Janji
Kalau Benar Ada Api Cinta Di Hatimu.

Bakarlah Benci yang Tlah Merampas Keadilan
Bakarlah Serakah yang Tlah Merenggut Kemakmuran

Jangan Pernah Lagi Bikin Janji-Janji
Ajak Saja Orang-Orang Miskin Itu
Bicara Tentang Negeri yang Mereka Huni

Ajak Saja Orang-Orang Kecil Itu
Bicara Tentang Keadilan Dari Hukum yang Tak Ditegakkan

Di Zaman Ketidak Percayaan Ini
Tidur Mungkin Tak Lagi Nyenyak
Tetapi Tetap di Selingi Mimpi yang Terputus-putus
Bahwa Suatu Saat Kata Masih Bisa Punya Arti

Puisi terbaru oleh :
--> Ust. Anis Matta <--


Disini ada kami, para generasi muda penerus cita-cita mulia ini, pasukan GK yang akan siap merapatkan barisan dan menselaraskan pemikiran, visi, misi, dan doa-doa panjang.
Innallaha ma'anna.

Senin, 11 Februari 2013

Saat Aku Harus Mencintai

Bismillah. Aku menulis karenamu, Ya Rabb. Jadikan kami seorang penulis yang bermanfaat bagi orang lain.

Saat Aku Harus Mencintai

“Assalamu’alaikum. Mau kemana dik?” tanyaku seraya menebarkan senyum pada wanita anggun di depanku ini.

“Wa’alaikumsalam. Mmmm... Mau kesana. Mari...” katanya, tergesa. Kemudian dalam hitungan detik tak terlihat bayangannya. Hatikupun segera saja merindukannya. Merindukan wajahnya yang selalu teduh.

Jika ada kata yang bisa kusampaikan padamu, Zahra, maka aku akan mengatakan, maafkan aku yang telah mencintaimu. Waktu membuatku tak mampu membohongi perasaanku selama ini. Selama itu pula aku bersama denganmu dan teman-teman disini, berjuang bersama.

Aku hanya seorang pemuda yang tinggal di sebuah perkampungan di Surabaya. Dekat dengan kawasan lokalisasi. Aku dan keluargaku telah lama menjadi jama’ah di masjid Ar-Rahmah, yang termasuk dekat dengan daerah lokalisasi juga. Sayangnya kurang makmur masjid itu. Jama’ah yang sholat hanya segelintir. Tak pernah ada kajian-kajian yang memakmurkan masjid itu.

Dengan tekad bulat aku mengumpulkan remaja-remaja muslim di daerahku untuk bergerak mengadakan kegiatan-kegiatan positif di Ar-Rahmah. Awalnya sulit memang. Sedikit sekali yang mau datang. Tak jarang mereka datang dengan menggandeng pasangannya masing-masing. Atau datang hanya sekedar untuk jagongan mengisi waktu luang. Namun perlahan aku menyadarkan mereka, bahwa menuntut ilmu agama sangatlah penting.

Tidak hanya kajian, juga acara-acara memperingati hari besar islam berhasil kami adakan.

Sejak itulah, Fika, salah satu anggotanya, mengenalkanku pada Zahra, Zahra berkenan membantu proyek dakwahku ini. Tanpa ba bi bu lagi tentu saja kuterima dengan senang hati. Hatikupun bungah saat ia banyak menawarkan konsep-konsep luar biasa dalam memakmurkan Ar-Rahmah.

Waktu berjalan terasa lebih cepat, dan kini Ar-Rahmah dipenuhi dengan kajian-kajian rutin. Tidak hanya dikalangan pemuda saja, banyak bapak dan ibu-ibu yang juga ikut pengajian disini. Mempelajari bersama-bersama Al-Qur’an dan al-hadits, bersama asatidz yang ahli di bidangnya.

Diantaranya selalu ada Zahra. Dia tidak hanya gadis yang cantik, namun juga cerdas. Penyayang anak-anak, dan pandai bergaul dan berorganisasi. Orang tuanyapun dekat dengan orang tuaku. Sama-sama menjadi pengurus di panti asuhan dekat kampungku ini. Entahlah karena apa, namun harus kuakuiku, aku sangat kagum padanya, pada Zahra, Fatimah Az-Zahra nama lengkapnya.

Sungguh aku bukanlah orang yang mudah mencintai, namun jika rasa itu telah hadir, terlalu sulit kumelepasnya. Jika aku harus berada dalam satu acara bersama Zahra, tak dapat kutahan degup jantungku yang tak beraturan. Tinggi rendah, membuatku serba salah.

Aku tak mampu menahan ini semua. Apalagi jarak-rumahku dan Zahra tidak jauh, hanya berbeda beberapa gang saja. Kami sering sekali bertemu. Setiap kali pertemuan itu datang, rasa-rasanya ingin kusampaikan padanya bahwa aku mencintainya. Saat harus kusampaikan hal itu, suaraku tercekat di tenggorokan. Tak mampu, karena itu terlalu sulit bagiku.

Sebenarnya ada juga hal lain yang membuatku tak mau menyampaikan rasa ini padanya. Aku tak mampu ukhuwahku dengannya terputus, hanya gara-gara keegoisan diriku ini. Aku tak mampu meyakinkan bahwa ia juga mencintaiku. Dan yang aku tahu bahkan sangat tahu, Zahra tidak mungkin mau berpacaran, tidak seperti teman-temanku yang lain.

“Kenapa kamu tidak mencintai yang lain saja kalo begitu?” jawab Ilham santai, temanku yang juga menjadi anggota di Ar-Rahmah saat kucoba meminta pendapatnya. Ah.. Ilham, kamu terlalu polos, perasaan mana mungkin kita kendalikan. Ia hadir dan menyapa tanpa ada yang mengudangnya.

Apakah aku sanggup menyimpan rasa ini? Rasa yang menikam segenap hati dan jiwa. Rasa yang dialami oleh setiap anak Nabi Adam. Rasa ini.. sungguh benar-benar ingin kusampaikan padanya.

***

Malam yang hening. Angin semilir masuk perlahan-perlahan melewati ventilasi kamarku yang baru saja kubuka. Subuh belum juga datang.

“Rabbanaa hablanaa min azwaajina wa dzurriyyatin qurrota a’yun.” Doa memohon diberi keluraga yang sakinah ini membuatku meneteskan di hadapanku.

Aku mengerti Ya Rabb... mengapa engkau melarang hamba-hambamu menjalin cinta tanpa ada ikatan yang suci. Karena hanya nafsu saja yang akan mempermaikan anak manusia, dan syetan pasti ikut andil mengambil peran.

Aku telah mengikhlaskan segalanya pada Allah. Termasuk jodohku kelak. Toh, ia sudah tertulis, tinggal aku yang mencarinya saja.

Umurku tak lagi muda, dua puluh lima tahun. Mungkin inilah waktu yang kutunggu-kutunggu. Ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk menyampaikan rasa hatiku pada Zahra, setelah hampir enam tahun menyimpannya.

“Ana (saya dalam bahasa arab) mencintai anti (kamu perempuan) sejak pertama kali kita berjuang bersama di Ar-Rahmah. Kini ingin kusampaikan bahwa ana ingin berjuang bersama anti lagi. Mencintai anti karena Allah dalam ikatan suci yang diridhoinya. Jika berkenan tolong terima pinanganku ini.”

Ayah dan Ibu terlihat lega dengan senyum yang tak mampu kutafsirkan. Begitu juga orang tua Zahra, senyumnya mengembang dan sesekali memandangi wajah anaknya yang indah itu.

“Bismillah dengan memohon rido Allah, insya Allah saya menerima pinangan Mas Firdaus.”

Subhanalloh dan walhamdulillah. Kini kami bersanding dalam pelaminan yang berhias bunga-bunga yang indah, seindah hati kami berdua. Merayakan cinta karena Allah.

“Dik.. apakah kamu pernah mencintai sebelumnya?” tanyaku pada Zahra seraya menatap wajahnya yang indah.

“Ya mas..” katanya lembut.

“Aku mencintaimu sejak pertama bertemu mas.” Katanya yang membuatku benar-benar membuatku terbang menyelami kebesaran Allah tanpa batas. Seakan inilah jawaban Allah atas kesabaranku untuk memutuskan tidak akan pacaran.

***

Oleh : Nabila Cahya Haqi (islami.bela@gmail.com)
Keep your love until the time answer :)

Rabu, 17 Oktober 2012

Sesungguhnya Allah maha Adil

Dahulu kala, ada dua orang raja di dua negeri yang bersebelahan. Raja pertama adalah seseorang yang sholih, bijaksana, dan sangat disayangi oleh penduduk sepenjuru negeri. Sedangkan raja kedua tidak memiliki sifat seperti si raja pertama dan justru sebaliknya, ia lalim, senang memerintah ini itu dan tidak merakyat dengan para penduduk dalam negeri tersebut.

Hingga suatu saat, kedua raja tersebut jatuh sakit meski tidak dalam waktu yang bersamaan. Penyakit ini telah menyebabkan sang raja pertama meninggal dunia, namun tidak pada raja kedua. Kenapa? karena penyakit kedua raja itu hanya bisa disembuhkan apabila mereka mengonsumsi ikan yang hanya akan keluar ke permukaan pada saat tertentu, pada musim tertentu pula. Sang raja pertama sakit pada saat musim ikan itu keluar, namun apa? ikan yang di tunggu-tunggu sebagai penawar sakit sang raja justru tak pernah muncul hingga kekuatan sang raja baik itu habis. Tapi ketika sang raja kedua sakit disaat bukan musim ikan itu untuk keluar, tak diduga-duga ikan yang tak mungkin muncul hari itu justru muncul, dan raja itu pun sembuh dari penyakitnya.

<Aku bertanya: kenapa tuhan begitu tidak adil? yang baik justru kalah, justru gagal, justru berakhir dengan buruk. Tapi yang jahat justru mendapat semua keberhasilan dan semua kesenangan itu!>


Temanku berkata:
Sesungguhnya skenario yang tertulis tidak demikian teman, semuanya terlihat seperti demikian itu karena kamu membacanya tanpa pemahaman hati yang jernih. Allah itu maha adil, se-adil-adilnya pemberi keputusan. 
Karena pada masa yang lalu, raja pertama pernah melakukan satu kesalahan sehingga Allah membalas satu kesalahan itu dengan tidak hadirnya ikan penyembuh pada saat ia sedang membutuhkannya. Namun di tempat yang lain, Allah sudah menyiapkan segudang hadiah berupa surga baginya sebagai imbalan atas semua ke-shalehan dan ke-arifannya saat hidup di dunia. Ingatlah, dunia ini tidaklah kekal, dan pastikan kamu sukses untuk akhirat yang kekal. 
Sedang pada raja kedua yang lalim itu, pada masa lalunya ia pernah melakukan satu kebaikan, sehingga Allah membalasnya dengan kehadiran ikan tersebut. Namun karena kelalimannya, Allah sudah menyiapkan balasan yang pantas untuknya di akhirat nanti karena ia tidak mengusahakan untuk bisa mendapatkan surga yang kekal tetapi berambisi penuh untuk dunia yang tidak kekal.

<Astaghfirullahal'adziim.. Aku baru memahaminya sekarang. Mungkin saat ini aku memang belum sukses, karena bisa jadi yang ku alami ini seperti sang raja pertama. Kesalahannya dibalas seketika agar ia tak lagi punya tanggungan dosa saat menerima hadiah2nya di akhirat. Karena aku menginginkan akhir yang berhasil, aku nggak bolah surut dan  menyerah sampai disini. Mungkin karena keinginanku begitu banyak dan tergolong tinggi, tak mungkin semua itu begitu mudahnya di dapatkan tanpa pengorbanan. Ini semata-mata karena Allah ingin membuatku berpacu lebih keras, dan menjadikan nilai-nilai itu sebagai pelecut agar aku lari dengan sangat kencang hingga bisa menggapai yang aku cita-cita kan.. Bismillah, Hamasah winaaa! Aku yakin, aku pasti bisa!!!>


Dream mode : on
Huwayna Hafizhotunniswah (Wina Zhonniwa)
s1 : Jurusan arsitektur - Institut Teknologi Sepuluh Nopember - Tahun 2013
s2 : Jurusan arsitektur - go to France >> Sourbone - full beastudy - Tahun 2017

Man Jadda wa jadda, man shabara zaafira
 

Rabu, 30 November 2011

Tidurlah Sayang




~penulis: Ade Anita ~




“Aku tidak mau tidur sendirian Bu.” Sebutir air mata meluncur dari kelopak mata yang memiliki bola mata indah itu. Cepat tangan kecil gadis di depanku itu menghapusnya. Wajahnya kusut dan memelas. Hmm… aku menghela napas panjang. Wajah bidadari ini selalu membuatku trenyuh dan tak kuasa untuk bilang tidak. Tapi kali ini kata ‘tidak” tidak boleh keluar dari mulutku.


“Begini saja, ibu temani sebentar yah.” sebuah senyuman terlukis di wajah permata hatiku itu.


“Kita tidur bertiga dengan Teddy bear yah?” Suaranya yang cadel dan kenes itu terdengar lirih.


“Teddy bear? Boleh. Berempat dengan sang bintang juga boleh.” Lalu kami masuk ke dalam kamarnya.


Kami tidur dengan kepala menghadap jendela kamar yang berdaun jendela lebar. Sengaja tidak dipasang gordein di sana agar pemandangan langit bisa terlihat jelas dari tempat kami berbaring. Langit tampak cerah malam itu. Bintang-bintang bertaburan memenuhi angkasa raya dan bulan tampak bersinar penuh dengan cahaya yang memantul berpendar-pendar. Aisyah, yang menjadi permata hatiku, mendekatkan kepalanya ke sisi pundakku, dan tangan mungilnya menyusup melingkari lenganku. Boneka Teddy bearnya menyembul di antara tubuh kami yang berhimpitan.


“Hmm… bagus yah, bintang-bintang itu.” Aku bertanya padanya dengan segala kekagumanku yang utuh pada keindahan jagad raya di atas sana. Subhanallah… Maha Suci Allah.


“Iyah bagus.” Suara kecil Aisyah mulai melemah karena diserang kantuk terdengar begitu lirih.


“Besok-besok… kamu tidak usah takut tidur sendirian yah. Ini hari terakhir ibu menemani kamu.” Tidak ada jawabannya, tapi aku rasakan rengkuhan tangan kecil di lenganku mengeras, sebuah isyarat tak hendak berpisah. Seperti malam-malam sebelumnya, rupanya malam inipun Aisyah tidak ingin tidur seorang diri.


“Kamu lihat bintang yang paling terang itu.” Tanganku menunjuk ke angkasa raya, pada satu titik di sebelah utara, dimana ada sebuah bintang yang terlihat paling terang cahayanya dan paling besar pula keberadaannya dibanding bintang yang lain.


‘Itu namanya bintang kejora.” Kemudian kami bersama mengagumi bintang kejora. Sederetan awan kelam yang berbaris mendekati bintang kejora, rupanya malu hati akan niatnya untuk menutupi bintang tersebut sehingga dengan cepat awan itu menyingkir dan kembali bintang kejora berpendar-pendar indah.


“Bagus bu… adik suka bintang kejora.” Suara lirih Aisyah kembali terdengar.


“Besok, kalau kamu tidur sendirian, kamu lihat saja ke langit. Insya Allah bintang kejora akan selalu muncul jika langit cerah. Kamu bayangkan bahwa ibu ada di sampingmu, sedang menatap bintang kejora bersama seperti malam ini. Jadi kamu tidak takut lagi tidur sendirian.” Sebuah senyuman terukir di mulut mungil Aisyah dan sebuah kecupan mendarat di pipiku yang dihadiahkan Aisyah padaku. Lama kami terdiam hingga yang terdengar kemudian adalah bunyi napas yang teratur. Hingga…,.


“Bagaimana jika bintang itu tidak muncul Bu ? “


“Hah ?…ngggnn.” Aku tidak langsung menjawab dan jeda waktu menunggu itu membuat sebuah kegelisahan tiba-tiba muncul di wajah Aisyah.


‘Bagaimana jika langit mendung dan badai datang ?” Suaranya yang semula lirih kini dipenuhi rasa kekhawatiran.


Kurengkuh tubuh mungilnya erat-erat… dan dengan lembut kubisikkan kata di telinganya, “Ada Allah yang selalu setia menemani kamu sayang…. Allah tidak akan pergi meninggalkan kamu, apapun keadaan yang datang dan selalu berubah-ubah. Bintang kejora itu adalah kasih ibu yang akan ibu berikan untuk kamu, tapi ibu dan bintang kejora, bahkan juga kamu, ayah, kakak, adalah ciptaan Allah, yang bisa menghilang, pergi jika Allah menghendakinya…. Tapi Allah yang Maha Pencipta selalu hadir menemani kamu. “


“Ibu akan pergi kemana ?”


“Suatu hari nanti, mungkin ibu akan pergi menghadap Allah. Kalau itu terjadi, kamu tidak bisa bertemu ibu lagi, kalau kamu kangen, kamu lihat saja ke langit yang cerah, bintang kejora itu adalah kasih sayang ibu yang sudah ibu ukir di sana agar kamu selalu ingat ibu. Jangan pernah merasa putus asa jika kamu merasa seorang diri… karena bintang kejora itu selalu bersinar berpendar-pendar meskipun awan gelap selalu berusaha menutupi kehadirannya. Kamu bisa lihat bintang itu dimanapun kamu berada di muka bumi ini. Dan ingat…. Meski bintang itu hilang karena siang muncul menggantikan malam, ada yang selalu setia menemani kamu dan menyayangi kamu melebihi kasih sayang ibu ke kamu, bahkan melebihi kasih sayang seluruh makhluk di muka bumi ini. Itu adalah kasih sayang Allah Subhanallahu Wa ta’ala… nah sekarang tidurlah… Pejamkan matamu.”


Tak ada jawaban, sebaliknya muncul sebuah pertanyaan baru.


“Apakah aku akan bertemu ibu lagi di hari esok ?” Bola mata bening bagaikan mutiara itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Sebutir mutiara bening meluncur dari sana, dan genggaman jemari kecil di lengan tanganku kian erat. “Hanya Allah yang tahu sayang. Jika Allah mengizinkan, tentu kita akan bertemu dan bermain kembali… sekarang, tidurlah.”


Mata Aisyah menatapku dengan polos dan sebuah telaga bening di kelopak matanya terlihat bergetar tak kuasa menahan bendungan air yang terkumpul di sana. Kukecup keningnya dengan penuh rasa kasih dan sayang.


“Ibu sayang sama kamu, jika takdir datang dan memisahkan kita, rasa sayang dan doa ibu akan selalu tercurah untukmu nak… Bersyukurlah selalu pada Allah, karena apapun takdir yang diberikan oleh Allah, dalam perhitunganNya, itulah yang terbaik bagimu. Tidurlah… Ada Allah yang akan menjagaMu malam ini.

Bunga-Bunga Surga


~Penulis: Aura Sinay ~


Ah. Kau langsung tersenyum saat melihat bungaku. Aku sudah menduganya. Sungguh, aku tak berniat untuk menyombongkan diri, tapi mereka yang melihat selalu mengatakan bahwa bungaku indah. Ah. Aku malu. Hanya kepada Allahlah pujian itu patut disampaikan. Aku hanyalah makhluk ciptaan-Nya. Tentulah Allah Maha Indah.

Awalnya, aku hanyalah sebutir benih yang diterbangkan oleh angin ke sana ke mari. Hingga akhirnya angin menghempaskanku dengan lembut pada sebuah taman di bumi yang tidak begitu indah, namun sangat layak untuk kutumbuh. Tanahnya hangat memelukku hingga membenamkanku ke dalam bumi-Nya. Tanah itu biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa, kecuali kegigihan dan ketulusannya dalam memberiku mineral-mineral, entah sampai kapan. Aku sendiri tak tahu harus membalasnya dengan apa. Hanya Allah yang mampu membalasnya dengan sebaik-baik karunia. Yang dapat kulakukan hanyalah mengerahkan segenap kekuatanku untuk memekarkan bunga-bunga yang indah. Walaupun kemudian pujian itu mereka tujukan padaku, bukan kepada tanah yang kupijak.

Kian hari kurasakan tanah itu semakin hangat memelukku, hingga akarku kuat mencengkeram bumi dan menopang ranting yang sebenarnya rapuh bagi mekarnya bungaku. Ah, segala puji bagi Allah yang telah mencurahkan rahmat di bumi ini.

Taman tempatku tumbuh tidak berpagar besi yang kokoh lagi megah, tapi hanya sebarisan pagar kayu yang cukup kuat untuk memastikan setiap orang yang melihat bahwa di sini ada taman bunga yang tersendiri.

Kuakui, aku sering merasa tak puas dengan taman yang kutempati ini. Ingin rasanya berpindah taman. Di luar terlihat indah sekali. Tapi rasanya tak mungkin aku meninggalkan taman ini tanpa bungaku. Justru menjadi kewajibanku untuk memekarkan bunga-bunga khas taman ini dengan tulus.

Ya, di luar sana memang terlihat sangat indah. Bunga-bunga yang bermekaran di luar sana sering mengejutkan setiap makhluk yang melihatnya. Mereka tak pernah menyangka ada bunga-bunga yang sangat indah di sudut-sudut bumi yang tersembunyi itu. Bunga-bunga itu memekarkan bentuk, warna, dan wanginya masing-masing, mengingatkan kita untuk segera memuji kebesaran-Nya.

Pernahkah kau mendengar kisah tentang bunga-bunga di luar sana ? Aku pernah mendengarnya, dari angin yang senantiasa menghembuskan kisah-kisah bumi.

Di luar sana ada pohon bunga yang rapuh. Dahannya rapuh, tapi akarnya kuat mencengkeram tanahnya. Setiap saat akarnya gigih mencari mineral-mineral tambahan bagi pertumbuhannya, walau akhirnya sering terbentur dinding potnya.

Pot? Ya, ia tinggal dalam sebuah pot bunga yang besar dan indah. Pot bunga itu terbuat dari baja kuat yang dingin (beruntunglah ia karena masih ada tanah yang hangat memeluknya). Pot itu berlapiskan emas dengan ukiran-ukiran yang indah.

Awalnya aku tak mengerti mengapa mereka (manusia-manusia itu) memperlakukan pohon bunga itu dengan sangat istimewa. Namun kemudian angin yang menceritakan kisah ini memberitahuku bahwa ia adalah pohon bunga yang langka.

Hanya ia yang tersisa di muka bumi ini. Tidak. Bukan tersisa. Justru ialah satu-satunya di muka bumi ini. Tak ada lagi pohon bunga yang sejenis dengannya. Karena ia adalah pohon bunga cangkokan. Pintar sekali manusia-manusia itu memadukan dua pohon induknya (Mahasuci Allah, pemilik segala ilmu). Namun sepertinya perhitungan mereka agak meleset. Dahan pohon yang dihasilkan sangat kecil dan tipis. Ia pun mudah terserang hama sehingga mereka harus memberikan perlakuan ekstra untuk pohon itu. Mereka berikan berbagai macam pupuk khusus dan menyiraminya secara teratur agar ia dapat tumbuh dengan normal.

Hasilnya pun sangat mengejutkan. Mereka sendiri tak menduga, bunga yang dimekarkannya begitu indah. Ia menebarkan wanginya yang khas. Madunya menjadi makanan bagi kumbang-kumbang yang mau mendatanginya. Rantingnya yang panjang dan kecil menari-nari mengikuti irama yang dilagukan oleh sang angin. Harapannya hanya satu, angin akan membawa serta benih-benihnya, mencarikan tempat-tempat yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman sejenisnya kelak.

Ia tak pernah meminta angin untuk menghembuskan kisahnya. Jangankan memikirkan hal seperti itu, menyadari keindahan bunganya sendiri pun tidak. Tapi angin telah membawa serta berita keindahan bunganya ke setiap penjuru bumi. Dan setiap pohon bunga yang mendengarnya akan menari-nari, melagukan kesyukuran seolah tiada henti. Termasuk aku.

Ah. Aku jadi malu. Dahanku yang cukup kuat justru kalah dengannya. Dahannya tak pernah berhenti mencari sinar sang mentari yang dapat merangsang pertumbuhannya dengan memberikan banyak kehangatan. Sementara aku ? Ah, entahlah. Aku masih harus banyak belajar darinya. Kini ia tumbuh meninggi. Semakin dekat dengan sang mentari. Hingga pohon-pohon lain di luar pagarnya dapat membuktikan keindahannya. Aku sering terkikik geli saat sang angin menceritakan bahwa terkadang pohon-pohon itu mencuri pandang, terpesona pada keindahan alami bunganya. Lalu mereka kembali melantunkan lagu kesyukuran, hingga serinya menebar ke seluruh penjuru taman hati.

Ah. Allah pastilah menyayanginya. Dan sang angin tak berhenti menghembuskan kisah-kisah bunga dari muka bumi ini. Suatu hari ia pernah bercerita, di luar sana ada pohon bunga yang masih sangat muda, tapi dahannya sudah kuat, dan akarnya kokoh mencengkeram bumi. Bunga yang dimekarkannya pun tak kalah indah dengan bunga-bunga lainnya. Ia memiliki kekhasan tersendiri. Di saat pohon-pohon lain menari-narikan bunga-bunganya yang indah dengan gemulai kepada seluruh penghuni bumi, ia justru enggan melakukannya. Yang ia lakukan hanyalah melagukan kesyukuran tanpa henti. Bahkan ia menumbuhkan banyak duri yang tajam di dahannya yang kokoh. Ia hanya tak ingin bunganya dipetik oleh sembarang orang. Ia juga tak ingin ada hama yang mengganggu atau bahkan merusak bunganya. Semua itu ia lakukan karena ia tahu betul, bunga yang dimekarkannya tak pernah bertahan lama. Tak lama setelah mekar, kelopaknya akan gugur ke bumi, seperti mawar. Ini sudah menjadi kodratnya. Namun ia tak sedikit pun mengeluh.

Sebuah pemikiran yang cerdas. Ah, tak pernah terpikirkan olehku. Padahal aku tumbuh lebih dulu dan bungaku lebih rapuh darinya. Lalu angin mengenalkannya padaku. Ia pohon bunga yang menyenangkan. Aku cepat akrab dengannya, walaupun letak taman kami saling berjauhan. Kami berkirim salam lewat angin. Berbagi rasa pun kami lakukan lewat angin. Maha Besar Allah yang telah menciptakan angin. Ia pernah menyampaikan kegundahannya lewat hembusan angin yang lembut. Seekor lebah memintanya menyisakan madu bagi dirinya pada suatu hari di waktu yang telah mereka sepakati. Ia menyanggupinya. Di luar dugaan, pada hari yang telah disepakati itu, bunganya tak mekar tepat pada saatnya. Dan ia tak kunjung melihat lebah itu datang di antara lainnya. Ia panik. Ia takut lebah itu akan marah kepadanya.

Aku tak melupakan janjiku. Aku tak ingin mengingkarinya. Aku tak menyangka jika embun pagi ini lebih sedikit dari kemarin sehingga aku harus bersabar dalam memekarkan bungaku agar aku tak kehilangan banyak energi. Aku tak bermaksud membuatnya kelaparan, kan.? Begitu sedih angin menceritakannya padaku.

Aku tahu. Rasanya lebah itu tak akan kelaparan. Bunga-bunga lain masih menyisakan madu untuknya. Ia tak akan menjadi begitu lapar karenanya. Angin hembuskan prasangka-prasangka baik padanya. Dihempaskannya jauh-jauh prasangka-prasangka buruk si bunga pada si lebah. Tak kuduga, ia menolak hembusan itu. Ia yakin sekali lebah itu akan marah lagi kepadanya. Ternyata hal ini terjadi untuk kedua kalinya. Sebelumnya ia pernah menjanjikan hal yang sama pada lebah yang sama. Ketika saat yang dijanjikannya tiba, bunganya tak siap untuk mekar. Sementara bunga-bunga lain yang mekar lebih awal pada dahannya telah habis madunya, dihisap lebah-lebah lain yang datang lebih pagi. Ia sendiri tak menduga jika lebah-lebah yang datang hari itu lebih banyak dari sebelumnya.

Lalu lebah itu marah padanya. Untuk beberapa lama ia tak menghampiri bunga itu lagi. Bahkan lambaian kelopaknya pun tak ia balas. Sedemikian marahnyakah lebah itu padanya? Kusampaikan lewat angin yang lembut menerpa, jika ia memang seekor lebah sejati, tentulah ia akan bersabar. Ia tak akan berhenti begitu saja. Lebah itu akan mencari madu pada pohon bunga yang lain. Lebah itu makhluk yang gigih.

Ia tetap gelisah. Kehilangan akal, kugoda bunga itu. Kutanyakan lewat angin tentang seberapa istimewanya lebah itu baginya hingga ia begitu gelisah. Tak kusangka, angin yang kembali membawakan pesannya datang menghentak.

Ia tak pernah menganggap istimewa pada lebah itu. Ia hanya tak ingin menyakitinya. Ia berusaha untuk membahagiakan semua lebah yang datang kepadanya.

Ah, memang salahku. Saat itu memang bukan waktu yang tepat untuk menggodanya. Akhirnya si lebah itu datang juga. Kuminta padanya untuk tak marah pada si bunga. Lebah itu mengangguk sambil tersenyum dan mengepak-ngepakkan sayapnya dengan lincah. Ah, lega rasanya.

Hallo Semua...

Kenalin.. Sang Jilbaber yang bernama wina ini, sekarang udah duduk di bangku kelas SMA lho!! Tepatnya sih, di kelas NASA SATELIT, SMADABAYA. Makasih juga.. udah jadi visitornya^^