Senin, 16 Agustus 2010

Misteri rumah tua

Saat melewati rumah tua itu perasaan Tini selalu berdebar-debar. Kata orang-orang rumah itu berhantu. Tini melirik bangunan rumah tua itu sambil mempercepat langkahnya. Dinding dan kayu-kayu penyangga banyak yang keropos, dan pekarangan rumah terkesan kotor dan tak terurus.

Banyak orang yang mengatakan kalau mereka sering melihat sesosok bayangan dari dalam rumah itu. Ada yang mengatakan, penghuni rumah ini adalah monster yang menakutkan. Ada pula yang bercerita padanya, bahwa rumah itu dihuni oleh seorang kakek tua pertapa, dengan kumis tebal dan jenggot putih yang panjang. Namun, sejauh ini Tini belum pernah melihat satu pun penampakan dari rumah itu.

Sore itu, Tini baru saja pulang dari warung Bu Cokro Yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah angker itu. Ia baru membeli satu kilo telur ayam, dan juga satu botol kecap.

Berjarak satu meter dari rumah itu, Tini mencium aroma masakan dari arah belakang rumah itu. Seketika, bulu kuduknya pun meremang.

“Duh.. Kok serem gini sih?” Keluhnya.

Kresrek..Kreserrkk..

Bunyi derap kaki Tini yang menginjak tumpukan daun kering di sepanjang jalan, terdengar cukup berisik. Terbukti dari suasana sunyi kebun jati di sampingnya. Biasanya, hutan kecil itu tak pernah sepi karena kicauan burung-burung kecil terus bersahutan. Juga embikan kambing liar, atau lenguhan sapi yang di ternak oleh sang gembala di balik pohon-pohon jati.

Ketakutan Tini semakin menjadi-jadi saat ia melihat sekelebat bayangan hitam dari arah rumah tua. Ia merasa seakan ada seseorang yang sejenak mengamatinya dari dalam sana.

“Mending, aku cepet-cepet pergi dari sini deh” ucapnya nyaris berbisik. Ia pun memutuskan untuk berlari dan menjauh dari bangunan yang menyeramkan itu.

Esok harinya, Tini kembali melewati rumah tua itu saat perjalanan pulang dari sekolahnya. Tanpa sengaja, Ia mendengar samar-samar beberapa orang sedang bercakap-cakap. Sesekali ia mendengar ucapan-ucapan kasar dari seseorang yang entah dimana. “Mungkin dari belakang rumah” Pikir Tini. Karena penasaran, dengan berjingkat ia berniat menguping pembicaraan orang tersebut.

“Heh, gila lo! Gimana kalau ketahuan?” Terdengar ucapan dari salah seorang.

Tini pun terus berdiri di depan pintu samping rumah, sambil menempelkan daun telinganya kepermukaan pintu. Tiba-tiba.. suara langkah kaki seseorang terdengar semakin dekat.

Sebelum Tini sadar dan pergi, gagang pintu itu telah berputar dengan cepat. Pintupun terbuka dengan keras dan membentur sisi pohon yang ada tepat di depan pintu itu. Tini begitu terkejut dan merasa degup jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.

“Siapa itu?” Teriak seseorang dengan berang.

Rupanya Tini selamat dari orang tak di kenal tadi. Ia nyaris tertangkap, jika seandainya ia tidak lekas mengambil langkah seribu dan bersembunyi di balik salah satu pohon jati di seberang rumah itu. Namun, orang itu tidak terlambat untuk melihat sosok Tini dari belakang.

“Gadis kecil berseragam sekolah SD. Mungkin ia kelas 4 atau 5”. Lapor sang pengejar Tini kepada seseorang yang lain. Mungkin itu adalah atasannya.

“Sepertinya tidak masalah!” Sahut sang bos, acuh tak acuh.

Tidak seperti perkiraan mereka. Tini adalah gadis yang tergolong mungil untuk anak seumurannya. Ini menyebabkan para sosok mencurigakan menghilangkan kecurigaannya pada Tini. Karena sebenarnya, Tini berumur 12 tahun atau kelas 6 tepatnya.

Di rumah teman Tini…

“Eh Ra, kamu tau rumah kosong yang di depan hutan jati di sana?” Tunjuk Tini ke arah Barat Daya.

“Emang kenapa?” Rara balas bertanya. “Yang angker itu kan?” lanjutnya lagi.

“Aku curiga deh!”

“Sama siapa?” Rara menautkan alisnya karena penasaran.

“Gini ra..” Tini pun menceritakan semua yang di dengarnya pada Rara, teman baiknya.

“Hah? Yang bener?” Rara memekik, tidak percaya. “Ini harus di laporin ke kades nih Tin”.

Tini langsung membulatkan mata dan memelototkannya ke arah Rara. “eeh.. ya jangan thoh. Ntar, kalau informasinya salah gimana?” Ucapnya dengan logat medok anak jawa.

“Ya udah deh, gimana kalau besok kita kesana lagi.” Usul Rara. “Sekalian, mungkin kita bisa melacak dan membongkar kedok mereka!”. Mulailah si Rara beraksi dengan gaya sok detektifnya. Ia memang pernah mencita-citakannya.

“Oke.”

Kruk..kruuk..krukk..

Suara jangkrik dan keheningan malam menyelimuti Rara dan Tini di hutan jati. Mereka sengaja janjian dan keluar rumah tanpa sepengetahuan orang rumah.

“Bos, Pulang dulu ya!” Terdengar satu suara.. dua.. tiga.. eh-empat. Aduh, entahlah ada berapa orang yang tiba-tiba keluar dari pintu samping rumah tua. Sekejap saja, suara mereka hilang.. lenyap di telan malam.

Tini melihat ke arah langit. Tidak ada bintang malam ini. Karena langit mendung dan menutup seluruh bintang. Dan suasana ini sangat mendukung bagi Tini dan Rara. Mereka sama sekali tak terlihat mencurigakan karena tertutup bayangan awan hitam. Hanya saja, ia jadi tidak bisa memperkirakan pukul berapa sekarang.

“Eh Tin, kita sembunyi di sisi sebelah situ yuk.” Ajak Rara seraya menunjuk sisi lain dari rumah itu.

Mereka tidak sadar apa yang ada di belakang mereka. Sebuah sungai yang cukup deras aliran airnya. “Aaah..Tolong aku Tin” Terdengar pekik tertahan dari samping Tini. Tini pun dengan cepat memutar arah pandangnya, dan ia melihat Rara terpeleset nyaris terbawa arus sungai. Dengan sigap, Tini menangkap tangan Rara dan ia pun berpegangan pada sebuah batu yang agak menonjol panjang ke atas.

“Greekk..” Riri dan Tini segera menjauh dari sungai. Dan kini mereka mendapati sebuah lorong yang agak kecil mengarah landai, miring ke bawah tanah. “Pasti yang kamu jadikan pegangan tadi itu, kunci jalan rahasia”. “Mungkin” Jawab Tini sedikit ragu.

Begitu mereka sampai di dasar lorong, mereka melihat hal-hal yang yang bersinar terang. Mereka belum yakin benda apa itu.

“Oh my god!” Tini menahan keterkejutannya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tidak berteriak. Rara pun melakukan respon yang nyaris sama. Semua benda berkilauan itu adalah emas dan perhiasan-perhiasan dalam peti. Ada juga berlian dan permata yang ukurannya cukup besar. Dan semua harta karun lainnya.

Apa yang mereka lihat?

“Tini, ini adalah jawaban dari kecurigaanmu kemarin!”

Kemarin, Tini bercerita bahwa ia mendengar sekumpulan orang yang berdebat di balik pintu samping tempat Tini mencuri dengar kemarin, membicarakan soal jadwal penjagaan. Bahkan sesekali orang-orang itu menyebut-nyebut kata ‘rahasia besar kita’. Juga rencana pengangkutan ke daerah… entah apa namanya.

Setelah mereka merasa berhasil, mereka segera keluar, dan akan melaporkan kejadian itu esoknya pada pak kades. Karena atas apa yang di dengar Tini, mereka akan mengangkut semua harta karun itu esok lusa.

Tepat di ujung terowongan, Rara di kejutkan olehh tiga orang berbadan tegap yang menghadang.

“Ayo ra, kenapa berhenti? Di sini panas nih. Pengen cepet keluar” Desak Tini dari belakang Rara.

Namun Rara tetap bergeming dan tak mengucap sepatah katapun.

“Ayo keluar!” Dengan kasar, orang-orang itu menarik Rara keluar, dan segera mencengkran tangan Tini dengan kuat. Tini, yang tak mengerti sebelumnya, sempat terkejut dan meronta.

Sekarang, mereka menjadi tahanan para gengster itu.

Matahari telah menunjukkan senyumnya dengan malu-malu.

Riri dan Tini pun masih tetap terkurung di salah satu kamar dengan tangan terikat kebelakang. Mereka sangat kebingungan. Tini sempat menangis menyebut-nyebut nama mak dan bapaknya di rumah. Rara juga sesekali menggerutu tak jelas atau kadang menangis tertahan.

Waktu telah berlalu beberapa jam. Kini, jam dinding rumah Tini telah menunjukkan pukul sepuluh siang. Bapaknya mondar-mandir kebingungan karena tidak melihat Tini sedari pagi dan hingga kini belum juga terlihat batang hidungnya.

Dog..Dog..dogg!!!

Suara pintu dengan di gedor dengan keras. Bapak dan mak Tini segera berlari keluar denggan cemas.

“Nak Bayu? Ada apa?” Tanya mak Tini kebingungan.

“I..i-tu.. bu. Mbak Ti-ni sa..ma mbak Rara dalam bahaya” Ucap bayu, adik Rara terbata-bata.

“Ayo, ucapkan yang jelas. Ada apa? Jangan membuat ibu panik seperti ini!”

“Lebih baik, ibu dan bapak ikut dengan saya”

Mereka pun lari ke arah rumah tua yang terpercaya angker. Ternyata, di sana telah ada pak Kades dan orang tua Rara. Juga para penduduk desa.

Dan dari dalam rumah, polisi-polisi keluar sambil menggiring orang-orang yang di anggap asing penduduk sini. Tangan mereka telah di borgol.

Tiba-tiba..

“Emaakk..” Tangis Tini pun pecah lagi. Ia segera berlari memeluk mak dan bapaknya.

Pak Kades mengambil alih perhatian. "Tenang semuanya.. Penjahat-penjahat itu sudah tertangkap. Ternyata, selama ini rumah ini telah di huni para gangster, yang sebelumnya telah mengetahui keberadaan harta karun terpendam di rumah ini. Mungkin itu merupakan harta milik salah satu penduduk sini yang menghuni rumah itu.” Terang Pak Kades panjang lebar sambil sesekali menunjuk rumah itu.

Esoknya..

“Bayu, bagaimana kau tahu kami ada di dalam sana?” Tanya Tini saat ia bermain ke rumah Rara.

“Maaf Tin, sebelumnya aku sudah membocorkan hal ini ke adikku. Maaf ya!” Ucap Rara dengan perasaan bersalah

“Nggak papa kok. Karena pada akhirnya.. itu menjadi bermanfaat. Memang ada baiknya memberi tahu seseorang untuk mengawasi, siapa tahu kita dalam bahaya.

Bayu pun akhirnya menceritakan semuanya.

Dan Sekarang.. Desa tempat Rara dan Tini tinggal menjadi aman, tentram, dan damai kembali. Anak-anak juga sudah tak ada yang takut dengan rumah itu.

Rabu, 11 Agustus 2010

Jangan Coba-Coba jahil sama Tasya

Karena nilai rapot Tasya bagus, Bunda Ratu Tujuh Pelangi menghadiahi sebuah pensil. Bentuknya lucu. Berwarna merah, terbuat dari kristal dan bertuliskan nama Tasya. Pada pangkalnya terdapat hiasan berbentuk koala yang juga terbuat dari kristal. Lucunya lagi, koala hiasan itu bisa merekam suara apa saja.

Sekarang Tasya bisa mengingat PR yang diberikan oleh gurunya, halaman berapa dan soal nomor berapa saja yang harus dikerjakannya. Selama ini Tasya sering lupa dan harus telpon teman-temannya untuk menanyakan PR.

"Tasya, buruan! Nanti telat, lho!" Nenek Fay telah siap di teras.

Sementara jam yang tergantung di ruang tamu menunjuk tujuh kurang lima belas menit. Tasya keluar dengan berseragam dan menyandang tas. Sambil berjalan, diamatinya pensil barunya. Dipencetnya tombol-tombol kecil yang melingkar pada cincin di bawah hiasan koala.

"PR Matematika, halaman 12, nomer 1 sampai 8..." terdengar rekaman suara Tasya dari pensil.

"Udah!" jawab Tasya sambil menjentikkan jari. "Yap, sekarang berangkat!"

Dari seluruh murid yang ada di sekolah Tasya, tak ada yang sejahil dan senakal Roni. Hari ini giliran Tasya yang dijahilinya. Saat pelajaran Bahasa Indonesia, diam-diam Roni menyembunyikan pensil baru Tasya. Padahal nanti ada pelajaran menggambar. Dan Tasya hanya bawa pensil itu.

Tasya tidak memperhatikannya, bahkan sampai Roni mengambil pensil ajaibnya dari dalam tasnya.

Selama istirahat Tasya berusaha mencari pensilnya. Teman-teman telah ditanyainya, tapi tak satu pun yang mengaku melihatnya. Uh, bandelnya si Roni! Ternyata dia telah mengancam seluruh anak di kelas!

"Awas ya, kalau kalian bilang atau meminjamkan pensil pada anak itu!" ancamnya sambil mengepalkan tinjunya.

Anak-anak patuh dan mengangguk-anguk karena takut.

"Hei, kodok! Aku pukul kamu kalau ngadu sama Bu Sam!" Roni pun mengancam Dewi, ketua kelas dan teman sebangku Tasya.

Sementara tangannya asyik memencet tombol-tombol pada pensil itu.

Tak lama kemudian bel berbunyi, tanda istirahat usai. Bu Sam masuk sambil membawa buku IPA, mata pelajaran berikutnya. Pelajaran yang menyenangkan sebenarnya buat Tasya, tetapi pikirannya masih tertuju pada pensil kesayangannya. Pandangannya menyebar ke seluruh penjuru kelas. Sesekali dilihatnya Roni dan gengnya yang cekikikan di belakang. Tapi ketika mata Tasya tertuju pada mereka, seketika mereka terdiam dan memasang tampang tak bersalah. Tasya mulai curiga.

"Apa nama hewan yang mirip kuda dan berbadan belang hitam-putih?" tiba-tiba Bu Sam telah memberikan pertanyaan.

"... kodok... Bu Sam... kodok... Bu Sam... kodok ... " sekonyong-konyong terdengar suara Roni dari belakang.

Keruan saja suasana kelas segera dipenuhi oleh suara tawa. Seluruh anak menertawakan Roni yang gelagapan di belakang. Mukanya merah dan bingung melihat seluruh mata di kelas tertuju padanya. Tangannya sibuk memenceti tombol pada pensil yang disembunyikan di bawah meja.

"Siapa itu?" bentak Bu Sam galak. Matanya menyelidik. "Kamu jawab apa Roni?"

Seketika ruang kelas terdiam.

"Bu... bu... bukan sa... ya, bu, " sahutnya tergagap. "Tapi... ini... "

Rupanya tanpa sengaja Roni telah merekam kata-katanya sendiri waktu mengancam Dewi. Lantas tanpa sengaja pula dia menekan tombol play waktu Bu Sam mengajukan pertanyaan. Masih dengan sikap galak Bu Sam meminta Roni maju. Tentu saja Bu Sam tidak percaya bahwa pensil yang ditunjukkan kepadanyalah yang mencemooh dirinya.

"Itu pensil saya, Bu!" wajah Tasya tiba-tiba berbinar.

Bu Sam melihat Tasya sejenak, kemudian bertanya pada Roni, "Benar ini pensil Tasya, Ron?"

Roni mengangguk sambil tertunduk. Dia tak mungkin mungkir karena nama Tasya tertera pada pensil itu. Tetapi akhirnya Roni dihukum oleh Bu Sam. Ingin tahu hukumannya? Berdiri di depan kelas sampai pelajaran IPA berakhir!

Putri Seorang Saudagar

Konon duluuuu sekali, adalah seorang saudagar yang kaya. Dia mempunyai tiga orang putri. Ketiganya berparas cantik. Sulung memiliki tubuh yang ramping. Karena itu dia senang sekali memakai baju yang bagus-bagus. Tengah mempunyai kulit yang halus lembut. Karena itu dia suka memakai perhiasan yang indah-indah. Sedang si Bungsu suaranya sangat merdu. Sifatnya juga lemah lembut. Dia sayang sekali kepada ayahnya.

Suatu hari saudagar itu akan berdagang ke negri seberang. Negeri itu sangat jauh letaknya. Harus melewati hutan dan gurun yang tandus. Di sana banyak berkeliaran perampok.

"Nah!" kata saudagar itu kepada ketiga putrinya. "Apa yang kalian inginkan untuk oleh-oleh nanti?"

"Biasa Yah," sahut si Sulung. "Saya ingin sebuah baju yang paling cantik yang ada di negri itu."

"Kalau saya sih minta dibawakan perhiasan yang paling indah yang ada di negri itu," seru si Tengah.

Bungsu hanya diam. Teringat dia akan mimpinya semalam. Dia merasa cemas, takut kalau apa yang dimimpikannya itu akan menjadi kenyataan.

"Bagaimana Bungsu?" Apa yang kau inginkan?" tanya saudagar itu karena si Bungsu hanya memandangi dirinya saja.

"Saya ingin ayah tidak pergi," sahut si Bungsu dengan suara pelan.

"Huuuu!" seru si Sulung sebal. "Kalau Ayah tidak pergi bagaimana aku bisa mendapat baju yang cantik!"

"Iya, nih. Kamu bagaimana sih!" seru si Tengah tidak kalah kesal. "Kalau Ayah tidak pergi aku kan tidak bisa memiliki perhiasan yang indah."

Saudagar itu menepuk bahu si Bungsu tanda mengerti. "Ayah mengerti mengapa kau merasa cemas melepas ayah pergi. Tapi percayalah. Ayah bisa menjaga diri."

Bungsu menundukkan kepalanya. Ingin rasanya dia menceritakan mimpinya. Tetapi dia takut ditertawakan. Tentu kedua kakanya akan berkata, "Alaa, mimpi itu kan cuma bunga tidur."

Karena itu setelah ayahnya pergi, Bungsu terus gelisah. Bayangan mimpi itu terus mengganggu pikirannya. Setiap kali memikirkan ayahnya air matanya menitik. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyusul ayahnya. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumahnya.

Dia berjalan menuju luar kota. Setelah seharian berjalan, dia merasa lelah. Dia duduk menyandar di bawah sebatang pohon yang rindang. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpinya.

"Oooh, seandainya aku menjadi burung, tentu aku bisa lebih cepat menyusul Ayah," keluhnya. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Angin sepoi-sepoi membuat matanya mengantuk. Apalagi badannya sudak capek sekali. Akhirnya dia tertidur lelap. Entah berapa lama dia tidur. Ketika sudah bangun dia merasa ada sesuatu yang aneh di tubuhnya.. Seluruh badannya telah ditumbuhi bulu-bulu. Tangannya berubah menjadi sayap. Dan mulutnya menjadi paruh. Dia tidak bisa lagi berbicara seperti semula. Yang keluar dari mulutnya hanyalah suara siulan yang sangat merdu.

Meskipun begitu Bungsu merasa gembira. Sebab dengan memiliki sayap, kini dia bisa lebih cepat menemukan ayahnya. Dia lalu terbang. Makin tinggi. Makin jauh. Tapi dia belum juga menemukan ayahnya. Dia sudah merasa putus asa ketika tiba-tiba dari kejauhan dia mendengar suara pekik burung gagak. Dia mencoba terbang ke arah itu. Dilihatnya segerombolan burung gagak raksasa terbang mengelilingi sesuatu benda. Bungsu segera mendekati mereka.

Astaga! Pekiknya dalam hati. Itu kuda ayahnya. Sepertinya kuda itu sudah mati. Berarti ayahnya ada di sekitar tempat itu. Dengan rasa cemas dia memeriksa sekitar tempat itu. Akhirnya dia menemukan ayahnya. Tergeletak pingsan di balik segerombolan semak. Tubuhnya terluka. Nampaknya ayahnya telah menjadi korban perampokan. Mungkin sebelum merampok ayahnya disiksa lebih dulu.

Menetes air mata Bungsu melihat keadaan ayahnya itu. Teringat dia akan mimpinya. Apa yang ditakutkannya telah menjadi kenyataan. Dia harus segera mencari pertolongan agar ayahnya bisa diselamatkan.

Bungsu segera terbang mengelilingi gurun itu. Melihat kalau-kalau ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Haaa! Ada seorang pemuda gagah yang sedang mengendarai kuda. Nampaknya dia bermaksud beristirahat, sebab kini dia menghentikan kudanya. Memasang kemah. Menurunkan perbekalan yang dibawanya, kemudian memberi kudanya minum dan makan. Nah, sekarang pemuda itu siap menikmati makan siangnya.

Bungsu segera menukik. Menyambar roti yang siap dimasukkan ke mulut pemuda itu. Si pemuda mula-mula kaget dengan kejadian tiba-tiba itu. Tetapi kemudian dia menjadi heran. Karena burung yang telah menyambar rotinya itu tidak segera terbang menjauhinya. Burung itu terbang rendah di hdapannya. Berputar-putar seolah ingin ditangkap.

Pemuda itu menjadi penasaran. Dia berdiri. Mencoba menangkap burung cantik yang kelihatan jinak itu. Tetapi si burung mengelak. Terbang menjauh sedikit lalu berputar-putar kembali. Pemuda itu terus mengikuti burung itu. Dia penasaran. Tak sadar dia telah meninggalkan kemahnya. Kini dilihatnya burung cantik itu hinggap di atas sebuah pohon kecil. Si Pemuda mengendap-endap. Mengulurkan tangan, siap menangkap si burung. Tetapi tiba-tiba dia terbelalak kaget.

"Astaga!" serunya tatkala melihat saudagar yang sedang tergeletak pingsan. Dia segera mengangkat tubuh saudagar itu. Segera dibawanya ke kemahnya. Sementara burung cantik mengikuti dari belakang.

Setelah berada di kemahnya, saudagar itu dirawatnya dengan baik. Luka-lukanya dibersihkan, diberi obat. Pakaiannya yang kotor diganti. Dan ketika saudagar itu siuman, dia menjadi heran.

"Siapa anda?" tanyanya menatap penolongnya.

"Saya kebetulan sedang lewat. Burung itu yang menunjukkan Bapak kepada saya. Rupanya Bapak telah menjadi korban perampok," sahut pemuda itu.

Saudagar mengangguk. "Yaa ... sungguh menyesal saya karena tidak mau mendengar kata-kata anak saya yang bungsu. Padahal dia sudah melarang saya pergi. Akh, dia tentu sangat sedih bila mengetahui keadaan saya sekarang," kata saudagar itu seraya menitikkan air matanya.

Aneh! Tiba-tiba saja si Bungsu berubah kembali menjadi seorang putri yang cantik. Dia segera memeluk ayahnya dengan gembira.

"Ayah! Syukurlah Ayah selamat," katanya.

"Astaga! Jadi kau yang telah menunjukkan ayah kepada orang itu?" tanya saudagar itu. "Mengapa kau bisa menjadi burung?"

Bungsu segera mengisahkan kejadiannya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang telah menolong ayahnya. Si Pemuda tersenyum.

"Saya kagum sekali mendengar bagaimana besarnya kasih sayangmu kepada ayahmu. Kebetulan saya melakukan perjalanan ini untuk mencari seorang istri. O, ya. Perkenalkan. Saya Pangeran dari negri seberang. Kalau kamu tidak keberatan saya ingin melamar kamu menjadi istri saya."

Begitulah akhirnya, mereka kawin dan hidup berbahagia. Saudagar itu kembali pulang ke rumahnya tanpa membawa oleh-oleh bagi kedua putrinya yang lain. Namun Bungsu menitipkan sebuah gaun yang cantik dan sepasang perhiasan bagi kedua kakaknya.

Anak Baru di Kelasku

LIBURAN telah usai. Kembali aku harus bangun pagi.

Uh-uh... malasnya. Bantal dan guling serasa ada lemnya. Lengket!

"Sekar! Ayo mandi! Nanti kamu terlambat, lho!" teriak Mama dari dapur.

"Ya, ya, ya ...," kataku sambil menggeliat.

Dengan gerakan serba kilat, aku akhirnya siap pergi sekolah.

"Selamat pagi, neng," sapa Pak Hendro, satpam di sekolah.

"Pagi, Pak Hendro!" jawabku.

Hari ini aku sudah kelas tiga. Seperti waktu naik kelas dua pada tahun lalu, teman-teman kelasku diacak dari kelas-kelas yang berbeda. Dalam daftar nama siswa kelas 3A ada Karinka, Ayas, Yacinta, dan Ayu. Mereka adalah teman-temanku sekelas waktu kelas satu.

Aduh asyiknya... bisa bikin geng lagi dengan mereka.

Geng itu kita namakan Geng Cabut. Kenapa namanya Geng Cabut, aku sendiri nggak ingat. Mungkin karena kita sering bilang "Yuk cabut!" kalau pengin pergi dari suatu tempat.

Ternyata di kelas tiga ini aku duduk sebangku dengan anak baru. Ibu Tika, wali kelas 3A dan guru favoritku, memanggil anak baru itu untuk memperkenalkan diri di depan kelas.

"Nama saya Suci. Waktu kelas dua saya sekolah di Tuban," kata Suci malu-malu.

"Orang tua saya telah meninggal saat saya berumur tiga tahun. Kemudian saya tinggal dengan paman.

Sekarang paman pindah ke Jakarta dan saya ikut pindah bersamanya. Alamat saya di Andara, Pondok Labu."

"Baiklah, Suci. Siapa yang ingin bertanya," Ibu Tika menawarkan.

"Suci, apa mainan kesukaanmu?" tanya Karinka.

"Saya suka main cublak-cublak suweng," jawab Suci spontan.

"Ha?! Mainan apa itu?" tanya Karinka dan anak-anak lain.

"Cublak-cublak suweng dimainkan oleh sekitar empat atau lima anak. Salah satu anak menelungkup dan yang lainnya mengelilingi anak itu. Kemudian sambil bernyanyi anak-anak mengelilingkan batu kecil di antara pemain. Pada saat lagu habis, anak yang kebagian batu kecil harus menyembunyikannya. Anak yang menelungkup bangkit dan menebak siapa yang membawa batu itu.

Lagunya asyik lho ...," jelas Suci panjang lebar seakan-akan berpromosi.

Anak-anak lain menyimak dengan penuh perhatian. "Ceritakan tentang daerahmu, Suci!" pintaku.

"Tuban terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Selain ikan laut, Tuban terkenal dengan siwalan dan legen. Di sana ada tempat wisata gua yang besar. Namanya Gua Akbar. Paman mempunyai kebun dan ternak. Setiap hari saya membantu menggembala ternak," jelas Suci penuh semangat.

Aku jadi teringat dengan Bagas, sepupuku yang juga mempunyai kebun dan ternak. Anak-anak sekelas ribut sendiri. Ada yang bertanya-tanya tentang apa itu siwalan dan legen. Ada pula yang mencari-cari letak Tuban di peta.

Ketika jam istirahat aku sudah khawatir anak-anak Geng Cabut akan mempermainkan Suci si anak baru. Soalnya sudah menjadi kebiasaan Geng Cabut untuk mempermainkan anak baru. Dan gencetan, istilah yang kami pakai untuk mempermainkan anak baru, tidak tanggung-tanggung. Pokok-nya sampai anak itu menangis baru kami merasa puas.

Kekhawatiranku itu ternyata tidak terjadi. Karinka, Ayas, Jacinta dan Ayu malah asyik ngobrol dengan Suci di pinggir lapangan basket. Mereka tertawa-tawa gembira. Aku masih khawatir jangan-jangan ada jebakan di balik ketawa-ketiwi itu. Aku dekati mereka.

"Kalian sedang menggencet Suci, ya?" tanyaku pelan kepada Jacinta. Ia hanya mengangkat bahu.

"Mana mungkin kita menggencet Suci. Suci kan anaknya pintar, baik hati dan banyak pengalaman asyik yang tidak kita dapatkan di Jakarta. Nggak seperti anak baru sebelumnya yang sok tahu itu," jawab Karinka panjang.

"Dan satu lagi, gaya ngomongnya lucu… Medok!" tambahku. Kami semua tertawa, termasuk Suci.

Raja dan Kura-Kura

Di Benares, India, hidup seorang raja yang sangat gemar berbicara. Apabila ia sudah mulai membuka mulutnya, tak seorang pun diberi kesem-patan menyela pembicara-annya. Hal ini sangat mengganggu menterinya. Sang menteri pun selalu memikirkan cara terbaik menghilangkan kebiasaan buruk rajanya itu

Pada suatu hari raja dan menterinya pergi berjalan-jalan di halaman istana. Tiba-tiba mereka melihat seekor kura-kura tergeletak di lantai. Tem-purungnya terbelah menjadi dua.

"Sungguh ajaib!" kata Sang Raja de-ngan heran.

"Ba-gaimana hal ini dapat terjadi?"

Lalu Raja mulai dengan dugaan-du-gaannya. Dia terus-menerus membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan kura-kura itu. Sang Menteri hanya mengangguk-anggukkan kepala menunggu kesem-patan berbicara. Kemu-dian dia merasa menemukan cara terbaik untuk menghilangkan kebiasaan buruk Sang Raja.

Ketika Sang Raja me-narik napas untuk berbi-cara lagi, Sang Menteri segera menukas dan berkata,

"Paduka, saya tahu kejadian sebenarnya yang dialami kura-kura naas ini!"

"Benarkah? Bila begitu, lekas katakan," kata Raja penuh rasa ingin tahu.

Dengan penuh keseriusan Sang Raja mendengarkan cerita menterinya. Sang Menteri pun mulai bercerita.

Kura-kura itu awalnya tinggal di sebuah danau di dekat pegunungan Hima-laya. Di sana terdapat juga dua ekor angsa yang selalu mencari makan di danau tersebut. Mereka pun akhirnya bersahabat. Pada suatu hari dua ekor angsa itu menemui kura-kura yang sedang berjemur di tepi danau.

"Kura-kura, kami akan segera kembali ke tempat asal kami yang terletak di gua emas di kaki Gunung Tschittakura. Daerah tempat tinggal kami adalah daerah terindah di dunia. Tidak-kah engkau ingin ikut kami ke sana?" tanya Sang Angsa.

"Dengan senang hati aku akan turut denganmu," sahut kura-kura riang.

"Tetapi, sayangnya aku tak dapat terbang seperti kalian," lanjutnya dengan wajah mendadak sedih.

"Kami akan memban-tumu agar dapat turut bersama kami ke sana. Tapi selama dalam perjalanan kamu jangan berbicara karena akan membahayakan dirimu," kata angsa.

"Aku akan selalu mengingat laranganmu. Bawalah aku ke tempat kalian yang indah itu," janji kura-kura.

Lalu kedua angsa tersebut meminta kura-kura agar meng-gigit sepotong bambu. Kemudian kedua angsa tersebut menggigit ujung-ujung bambu dan mereka pun terbang ke angkasa.

Ketika kedua angsa itu sudah terbang tinggi, be-berapa orang di Benares melihat pe-mandangan unik tersebut. Mereka pun tertawa terbahak-bahak sambil berteriak.

"Coba, lihat! Sungguh lucu. Ada dua ekor angsa membawa kura-kura dengan sepotong bambu."

Kura-kura yang suka sekali bicara merasa tersinggung ditertawakan. Dia pun lupa pada lara-ngan kedua sahabatnya. Dengan penuh kemarah-an dia berkata,

"Apa anehnya? Apakah manusia itu sedemiki-an bodohnya sehingga merasa aneh melihat hal seperti ini?"

Ketika kura-kura membuka mulutnya untuk berbicara, dua ekor angsa itu sedang terbang di istana. Kura-kura pun terlepas dari bilah bambu yang digigitnya. Dia terjatuh tepat di sini dan tempurungnya terbelah dua.

"Kalau saja kura-kura itu tidak suka berbicara berlebih-lebihan, tentu sekarang dia telah tiba di tempat sahabatnya,"

kata Sang Menteri mengakhiri ceritanya sambil memandang Sang Raja. Pada saat bersamaan Raja pun memandang menterinya.

"Sebuah cerita yang menarik," sahut Sang Raja sambil tersenyum. Dia menyadari kemana arah pembicaraan menterinya.

Sejak saat itu, Sang Raja mulai menghemat kata-katanya. Dia tidak lagi banyak bicara. Tentu saja Sang Menteri amat senang melihat kenyataan itu.

Kerang Ajaib

Rimba kecewa sekali. Tak seekor ikan berhasil diperolehnya hari ini. Segera diangkatnya buah-buahan yang telah dikumpulkan dari hutan. Saat kaki Rimba menginjak batu besar di sungai, terlihat sesuatu di bawahnya. Seekor kerang putih! Rimba memungut dan berharap kerang itu bisa menjadi temannya. Di rumah, ibu Rimba menghibur. Bagaimana pun Rimba mestinya bersyukur karena buah-buahan yang diperoleh untuk dijual ke pasar cukup banyak. Kerang putih disimpan dalam tempurung kelapa.

Keesokan hari, sepulangnya dari berjualan, Rimba dan ibunya dikejutkan dengan hidangan yang tersaji di meja. Tiba-tiba terdengar suara dari arah tempurung kelapa,

"Rimba! Semua makanan itu untukmu dan ibumu. Aku yang menyediakannya". Ternyata suara itu berasal dari kerang putih yang ingin membalas budi. Betapa bahagianya ibu dan anak itu. Kini, tiap hari hidangan selalu siap tersaji. Mereka tak habis-habisnya bersyukur pada Tuhan.

Suatu hari, Rimba sakit dan tak bisa pergi ke hutan. Di tengah kebingungannya, terlintas ide minta tolong pada kerang ajaib, sahabatnya. Tentu saja kerang ajaib segera mewujudkannya. Demikianlah yang terjadi hari demi hari. Kini Rimba tak perlu ke hutan mencari buah-buahan. Ia tinggal membantu ibunya berjualan di pasar. Namun Rimba serakah. Kian hari kian banyak permintaannya. Bahkan Rimba malas mengisi tempayan air yang seharusnya merupakan pekerjaan mudah saja. Ibu Rimba tak jemu mengingatkan.

Sampai akhirnya, Rimba mengelabui kerang putih karena begitu menginginkan masuk ke dalam tubuhnya. Tubuh kerang membesar dan masuklah Rimba. Benar juga dugaannya. Sekelilingnya penuh intan, permata dan kepingan uang emas. Ide serakah Rimba muncul. Ia mulai mengangkut barang-barang itu. Ibunya yang melihat, segera mengingatkan. Rimba tak mengindahkan. Saat itulah kerang mulai mengatupkan diri. Tiba-tiba terdengar suara, "Rimba, kau sudah melewati batas. Kau sangat serakah! Nasihat ibumu tak kau hiraukan!". Pintu kerang segera tertutup. Sayang, Rimba terlambat keluar! Tubuh kerang ajaib kembali mengecil dan Rimba terjepit kesakitan di dalamnya. Penyesalan Rimba terlambat

Catatan Kecil Viola

"La, gimana? Siap nggak ulangan Matematika nanti?" tanya Natasha di depan kelas sebelum bel tanda belajar dimulai.

"Siplah!" jawab Viola singkat.

"Wah, hebat kamu, La. Aku malah nggak sempat belajar. Semalaman kemarin aku harus mengurusi adikku sakit. Mudah-mudahan ibu guru tidak memberikan soal ulangan yang rumit!" kata Natasha.

"Kalau aku jelas belajar dong, Sha!" jawab Viola percaya diri. Viola sebenarnya berbohong. Ia lebih suka mencontek dengan cara membuat catatan kecil daripada belajar. Hari itu pun sama. Viola telah mempersiapkan catatan kecilnya.

Bel tanda dimulainya belajar berbunyi. Viola, Natasha, dan murid-murid kelas VI SDN Pelita lain masuk kelas.

"Selamat pagi anak-anak! Hari ini kita ulangan Matematika. Karena itu, sekarang keluarkan alat tulis kalian! Ingat, jangan ada selembar catatan pun di atas meja kalian!"

Murid-murid pun menuruti perintah ibu guru, termasuk Viola.

"Ingat! Ibu lebih menyukai murid yang mendapat nilai kecil, tapi berbuat jujur daripada murid yang bernilai besar, tapi mencontek." ujar ibu guru sambil membagikan soal ulangan.

"Cihui… semua jawaban soal ulangan ini ada dalam catatan kecilku!" ucap Viola dalam hati setelah menerima lembar ulangan. Viola lalu merogoh saku roknya untuk mengambil pena.

Beberapa saat kemudian murid-murid terlihat mulai tekun mengisi jawaban soal-soal ulangan. Sementara Viola terlihat hendak melancarkan aksinya. Tangannya mulai merogoh saku roknya. Namun, ia kaget. Catatan kecilnya hilang.

"Aduh, di mana catatan kecilku? Gawat! Padahal tadi aku simpan di saku rokku! Tapi ..." Viola lalu mencari-cari di mana catatan kecilnya berada. Ia merogoh saku kanan dan saku kiri roknya, lalu saku kemejanya. Catatan kecilnya hilang entah kemana.

"Cari apa kamu, Viola?" tanya ibu guru ketika melihat gerak-gerik Viola.

"Ingat, bekerja sendiri. Jangan tengok kiri-kanan!" Viola kaget. "Nggak, Bu Guru. Saya nyari tip-eks," jawab Viola berbohong. Aya cepat-cepat menunduk, membaca soal ulangan. Viola mencoba menjawab soal-soal ulangan tersebut. Tapi, ia tidak bisa. Ia lalu mencoba mengingat-ingat yang ia tulis di catatan kecilnya. Namun, sama sekali tidak ingat dengan apa yang ditulisnya tadi malam di catatan kecilnya.

Viola lalu melirik ke arah teman-temannya. Ia melihat teman-temannya sedang tekun mengisi lembaran soal ulangan. Perasaan menyesal pun terlintas dalam diri Viola. Viola termenung. Soal-soal ulangan tersebut ia biarkan kosong.

Waktu pun berlalu. Hampir satu jam sudah murid-murid mengerjakan lembaran soal ulangan. Sementara itu, lembaran soal ulangan Viola tetap terlihat kosong. Kalaupun terisi, hanya seadanya.

"Waktu ulangan telah habis. Sekarang kumpulkan pekerjaan kalian di depan kelas. Setelah itu, kalian langsung menuju lapangan olahraga,"

Murid-murid pun menuruti perintah ibu guru. Dengan penuh semangat mereka mengumpulkan lembaran soal ulangan mereka, kecuali Viola. Viola terlihat lesu ketika menyerahkan lembaran soal ulangannya.

"Viola, sebentar. Ini milikmu?" tanya ibu guru pada Viola. Viola tercengang. Ia melihat catatan kecilnya itu berada di tangan ibu guru. Bagaimana mungkin catatan kecilnya itu berpindah tangan ke ibu guru secepat itu?

Sejenak Viola berpikir, jangan-jangan Natasha yang menyerahkannya ke ibu guru. Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah ia juga tidak memberitahukan catatan kecilnya itu kepada siapapun, termasuk Natasha.

"Viola, kamu mungkin kaget melihat catatan kecilmu berada di tangan ibu. Kamu ingin tahu? Tadi ketika ibu membagikan lembaran soal ulangan di mejamu, kamu merogoh saku rokmu untuk mengambil penamu, kan? Nah, saat itulah ibu melihat catatan kecilmu terjatuh di bawah mejamu," ujar ibu guru sambil memandangi Viola.

"Ibu tahu ini bahan contekanmu, kan? Ibu tidak akan memarahimu. Ibu hanya heran, kenapa kamu tidak mengindahkan peringatan ibu tentang mencontek. Bukankah mencontek itu perbuatan curang? Bukankah mencontek itu hanya akan membodohi dirimu sendiri. Meskipun nilai ulanganmu besar, tetapi kamu tidak tahu apa-apa. Betul, kan Viola?"

Viola tertunduk malu mendengar ucapan ibu guru. Dalam hati ia berjanji, mulai saat ini ia tidak akan mencontek lagi. Ia akan rajin belajar, karena ia tidak ingin membodohi diri sendiri.

Raja Muda dan Burung Kuau

Pada zaman dulu hiduplah seorang putra mahkota yang tampan bernama Raja Muda.


Ia sedang mencari gadis untuk dijadikan isterinya. Pada suatu malam, di dalam tidurnya Raja Muda bermimpi bertemu seorang kakek. Kakek itu berkata jika ingin mendapat jodoh, Raja Muda harus pergi mencari sebuah rumah di pantai dengan halamannya terdapat pohon kelapa gading. Pohon itu biasanya menjadi tempat bermain burung Kuau dari kayangan. Selanjutnya kakek itu berpesan agar Raja Muda menangkap burung tersebut.


Setelah mendapat nasehat dari mimpinya, Raja Muda pergi ke tempat yang ditunjukan oleh kakek tersebut. Tak lama kemudian datanglah tujuh ekor burung Kuau dari kayangan. Burung-burung Kuau itu kakak beradik. Sang adik bungsu turun dan bermain-main di atas pasir. Melihat itu, burung Kuau yang tertua mengingatkan adiknya agar berhati-hati. Tetapi sang adik tetap bermain dengan gembira hingga tidak sadar kalau di bawah pasir terdapat tubuh Raja Muda. Dengan cepat Raja Muda menangkap burung Kuau itu dengan tempurung kelapa yang digunakan penutup mukanya tadi dan memasukannya ke dalam sangkar. Burung-burung Kuau yang lain terkejut melihat kejadian itu, dan dengan segera terbang kembali ke kayangan.


Dengan perasaan gembira, Raja Muda kembali ke istana dan meletakkan sangkar yang berisi burung Kuau di sebelah kamarnya.


Malamnya menjelang matahari terbit, sang burung menjelma menjadi seorang putri cantik. Ia keluar dari sangkarnya, pergi ke dapur istana untuk memasak makanan yang lezat. Setelah selesai sang putri kembali ke wujudnya semula menjadi burung Kuau.


Pagi harinya ketika Raja Muda bersantap pagi sangat heran dengan kelezatan masakan yang ia makan. Di tanyakannya kepada juru masak istana siapa yang telah memasak makanan itu, tetapi juru masak mengatakan tidak tahu malahan ia juga heran ketika masuk ruang makan di atas meja telah terhidang makanan tersebut.


Hal itu terjadi berulang kali, sampai akhirnya suatu malam Raja Muda sengaja tidak tidur untuk mengetahui siapa yang selalu menyediakan makanan tersebut.


Menjelang dini hari, Raja Muda mendengar suara langkah dari sebelah kamarnya berjalan menuju dapur istana.


Alangkah terkejutnya ia karena sangkar burungnya telah kosong berganti sosok menjadi seorang putri nan cantik. Ketika putri itu selesai memasak, cepat-cepat Raja Muda menyembunyikan sangkar tersebut sehingga sang putri tidak bisa kembali menjadi burung Kuau.


Karena sudah ketahuan, maka sang putri menceritakan dirinya yang sesungguhnya. Betapa bahagianya Raja Muda mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan berbudi luhur. Mereka menikah dan hidup berbahagia. Setahun setelah pernikahan, mereka dikaruniakan seorang putra tampan.


Sementara itu, kedua orang tua putri burung Kuau yang tinggal di kayangan sangat bersedih hati kehilangan putri bungsu mereka. Ingin mereka mencari putrinya ke dunia, tapi takut ditangkap dan dibinasakan oleh manusia. Mereka akhirnya hanya pasrah dan melarang anak-anak yang lain turun ke dunia lagi.


Pada suatu sore, Raja Muda bersama istrinya putri burung Kuau sedang berjalan-jalan di taman bunga istana. Di sekitar mereka terdapat bunga-bunga yang indah dan harum. Di bawah pohon yang rindang Raja Muda berbaring sambil meletakkan kepalanya diatas pangkuan istrinya. Dinikmatinya angin sepoi-sepoi basa serta kicauan burung di atas pohon, tiba-tiba ia teringat suara merdu nyanyian burung Kuau yang dahulu didengarnya ketika bersembunyi di bawah timbunan pasir. Indah dan mendayu.


Raja Muda meminta istrinya agar menyanyi untuknya. Tetapi istrinya menolak dan menasihati Raja Muda agar tidak memintanya menyanyi.


Jika ia menyanyi hatinya akan menjadi sedih dan nanti akan menimbulkan rasa penyesalan bagi Raja Muda.


Raja Muda tidak putus asa di bujuknya sang istri agar mau bernyanyi untuknya.


Akhirnya putri burung Kuau tidak dapat menolak, dengan terpaksa ia menyanyi. Suaranya merdu, menyanyikan nyanyian burung Kuau. Seiring itu tubuh sang putri bergetar hebat, airmatanya bercucuran. Perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi burung Kuau.


Sambil mengepak-ngepak sayapnya terbanglah ia meninggalkan suaminya tercinta, kembali ke kayangan. Raja Muda serta merta terbangun, mendapatkan istrinya telah pergi. Sungguh menyesal ia telah menyuruh istrinya menyanyi.


Tetapi apa daya nasi telah menjadi bubur, hanya anaknya seoranglah yang menjadi pelipur lara kesedihannya.

Hallo Semua...

Kenalin.. Sang Jilbaber yang bernama wina ini, sekarang udah duduk di bangku kelas SMA lho!! Tepatnya sih, di kelas NASA SATELIT, SMADABAYA. Makasih juga.. udah jadi visitornya^^